TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Bidang Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani mengatakan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan hanya menguntungkan industri rokok. "Tapi dikemas seolah-olah petani tembakau yang diuntungkan," ujar Julius dalam acara RUU Pertembakauan di gedung Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Kamis, 25 Agustus 2016.
RUU Pertembakauan ini sebenarnya sudah pernah dibahas beberapa tahun terakhir. "Tapi dengan nama beda dan tak pernah lagi ada kabar," katanya. Menurut Julius, RUU Pertembakauan melanggar hukum setidaknya tiga hal.
Pertama, RUU tersebut menimbulkan antusias yang sangat terlihat di parlemen, khususnya Badan Legislasi (Baleg). Padahal isi RUU ini setidaknya ada 14 pasal yang hampir sama dengan undang-undang terdahulu. Kedua, tidak ada sosialisasi atau publikasi awal tentang RUU Pertembakauan ini.
"Setidaknya di antara Baleg atau fraksi yang mengusulkan," tuturnya. Selain itu, ketiga undang-undang tidak boleh disusun berdasarkan peraturan menteri, tapi harus berdasarkan UUD 1945 sesuai kebutuhan nasional.
Kejanggalan lain adalah ketika diadakan kunjungan kerja oleh Baleg ke tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan NTB, untuk membahas RUU Pertembakauan. "Pantauan terakhir kami, status RUU ini belum lolos harmonisasi," ujar Julius.
Jika belum lolos harmonis, RUU belum mendapat anggaran kunjungan kerja. Namun, kata Julius, ternyata Baleg malah melakukan kunjungan kerja. "Diduga mereka mendapat fasilitas dari industri rokok," ucap Julius.
Hal lain yang mengganjal adalah seharusnya Baleg tidak ikut atau boleh mengusulkan RUU hanya memfasilitasi, tapi ternyata sebaliknya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dan berhak mengungkap potensi korupsi di balik RUU Pertembakauan. "Hampir semua RUU tentang tembakau pasti merugikan petani," ujarnya. Adapun RUU ini sesungguhnya sangat pro-industri rokok.
ODELIA SINAGA