TEMPO.CO, Jakarta - Sampah dari Jakarta diperebutkan banyak pihak yang berkepentingan. Dibalik pengelolaannya terdapat sejumlah uang yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Ubaidillah, Pemerhati Lingkungan Perkotaan, mengatakan pihak-pihak yang berkepentingan dengan sampah di Jakarta, di antaranya pelapak, pemilik lahan, produsen dan industri, investor pengolah sampah, politisi, pejabat dan instansi pemerintah pusat dan daerah, konsultan, pengelola pasar, dan pengembang.
Sayangnya, kata Ubaidillah, mereka cenderung hanya mementingkan urusannya sendiri, tanpa benar-benar berupaya mengatasi masalah sampah secara keseluruhan dari hulu ke hilir.
“Artinya, dari orang-orang kecil sampai elit pengusaha dan penguasa berkepentingan memperebutkan sampah. Semua berlomba mengurusi, tetapi hanya berorientasi mengejar keuntungan,” katanya, Rabu, 24 Agustus 2016.
Menurut Ubaidillah, kondisi itulah yang membuat sampah tidak terkelola dengan lebih baik. "Hanya ditumpuk secara terbuka di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang dapat menjadi malapetaka, merusak ekologi dan mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa," katanya.
Ubaidillah menjelaskan, walaupun ada banyak pihak memperebutkan sampah, namun Pemprov DKI dalam mengelola sampah cenderung memonopoli dan sentralistik serta tergantung pada TPA di luar Jakarta, seperti TPA Bantar Gebang Bekasi.
Padahal, lanjutnya, membuang sampah warga Jakarta ke daerah lain seperti ske TPA Bantar Gebang Bekasi itu sebenarnya bisa dinilai tidak bertanggung jawab, tidak berkelanjutan dan berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Walaupun status lahan TPA Bantar Gebang milik Pemprov DKI Jakarta, lanjutnya, namun secara administrasi lokasi TPA Bantargebang tetap dan masih berada dalam wilayah Bekasi Jawa Barat. “Hal ini harusnya menjadi perhatian serius baik oleh pemerintah Bekasi ataupun Pemprov Jawa Barat sebagai upaya melindungi warganya dari ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa,” ujarnya.
Ubaidillah juga mengkritisi bahwa pemberian uang kompensasi atau istilahnya "uang bau" oleh Pemprov DKI Jakarta kepada warga sekitar yang terdampak itu bukan merupakan solusi tepat dan berkelanjutan. “Sebab, uang yang diterima warga terdampak tidak sebanding dengan rendahnya kualitas hidup mereka, ancaman kesehatan dan keselamatan jiwa, serta perkembangan anak cucu yang juga sebagai generasi penerus bangsa,” katanya.