TEMPO.CO, Lombok - Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan, kebanyakan bank pembangunan daerah memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini, menurut anggota VI BPK, Bahrullah Akbar, berimbas pada tidak optimalnya kinerja keuangan mereka.
Saat ini, dari 26 BPD yang ada, hanya sebelas di antaranya yang dikategorikan efisien. "Menurut temuan kami, memang belum efisien, masih banyak persoalan," kata Bahrullah setelah menghadiri acara seminar internasional efisiensi dan stabilitas keuangan daerah di Lombok, Senin, 22 Agustus 2016.
Menurut Bahrullah, kondisi itu terlihat setelah BPK melakukan pendalaman berdasarkan dua indikator utama, yaitu best management practices dan envelopment data analysis. "Karena tidak efisien, jadi output-nya selalu di bawah target."
Bahrullah menuturkan ada beberapa solusi yang bisa dilakukan BPD. Salah satunya dengan mencari sumber alternatif pendanaan di luar pemerintah. "Misalnya memanfaatkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Di sana ada Rp 250 triliun," ucapnya.
Baca: Dugaan Kartel Skuter Matik Masuk Tahap Pemeriksaan Lanjutan
Menurut Bahrullah, selama ini, dana BPJS Ketenagakerjaan hanya diarahkan untuk obligasi pemerintah. Jika BPD bisa menarik dana tersebut, pertumbuhan ekonomi daerah bisa ikut terkatrol.
Ditemui di tempat yang sama, komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Firdaus Djaelani, mengatakan tren perkembangan BPD selama lima tahun terakhir cenderung menurun. Hal ini tercermin dari menurunnya total aset dan dana pihak ketiga. Sedangkan kredit mengalami pertumbuhan tapi terbatas.
"Porsi kredit di sektor produktif masih cukup minim, hanya 29,35 persen," ujar Firdaus. Kredit BPD, menurut dia, masih berfokus pada bidang konsumtif, terutama untuk pegawai negeri sipil.
Simak: Harga Rokok Rp 50 Ribu, Gudang Garam: Ada Upaya Adu Domba
Di sisi lain, ketergantungan pada dana pemerintah daerah juga masih cukup tinggi. Berdasarkan data OJK, hingga Juni 2016, ujar Firdaus, dana BPD yang berasal dari pemerintah daerah mencapai 43,71 persen.
FAIZ NASHRILLAH