TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada sekaligus mantan anggota Tim Anti-Mafia Migas, Fahmi Radhi menilai, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi memiliki banyak sekali kelemahan. Menurut dia, undang-undang ini sangat liberal.
"Kenapa? Karena menempatkan Pertamina sama dengan kontraktor-kontraktor asing lainnya sehingga dia harus ikut tender apabila ingin turut dalam pengelolaan migas," kata Fahmi dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu, 20 Agustus 2016.
Menurut Fahmi, pengelolaan migas seharusnya terlebih dahulu diberikan kepada Pertamina sebagai perusahaan milik negara. Apabila Pertamina tidak mampu, kata dia, baru diberikan kepada investor asing. "Seharusnya, liberalisasi menciptakan efisiensi. Namun, pemilik modal lah yang akhirnya menguasai."
Karena itu, Fahmi mendesak pemerintah dan juga Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi UU Migas. "Kalau tidak, alternatifnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Upaya melakukan perubahan harus segera dilakukan karena ini berbahaya sekali," katanya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, saat ini, draf revisi UU Migas masih dibahas di Badan Keahlian DPR. Menurut dia, revisi UU tersebut sangat lambat meskipun berulang kali masuk ke Prolegnas. "Karena banyak kepentingan dan drafnya pun berganti-ganti," ujarnya.
Senada dengan Komaidi, Fahmi menduga terdapat banyak kepentingan yang bermain dalam revisi UU Migas. "Ada dugaan pihak asing ikut bermain dalam penyusunan UU itu sehingga menjadi sangat liberal dan menguntungkan pihak tertentu. Sekarang (dalam revisi), mungkin ikut bermain juga."
ANGELINA ANJAR SAWITRI