TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian akan membuka luas impor daging potongan sekunder (secondary cut) dan jeroan. "Saya tanda tangan insya Allah hari ini," kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di kantornya, Selasa, 12 Juli 2016.
Impor tak akan dibatasi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai langkah stabilisasi harga, tapi terbuka bagi swasta. "Jadi secondary cut bisa diimpor siapa saja, kemudian jeroan juga demikian," ujar Amran.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016, impor daging saat ini berbasis zona (zone base), bukan negara (country base). Dengan demikian, pilihan negara asal daging tidak hanya terbatas pada Australia, Selandia Baru, dan Jepang, tapi bisa lebih luas hingga India. Asalkan daging itu berasal dari daerah (zona) bebas penyakit kuku dan mulut.
Menurut Amran, pemerintah tidak akan membatasi jumlah impor daging “kelas dua” ini. "Kita impor sesuai dengan kebutuhan," katanya. Alasannya, kata Amran, adalah untuk menekan harga daging sapi yang hingga kini masih di atas Rp 100 ribu per kilogram.
Hanya saja, impor daging secondary cut dan jeroan difokuskan untuk konsumsi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Sebab, selama ini 80-90 persen daging impor memang dikonsumsi masyarakat di wilayah ini. Selain itu, hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan untuk peternak sapi di daerah. "Kita tetap menjaga petani dan peternak agar mendapat harga yang menguntungkan," kata Amran.
Sebelumnya, pemerintah telah beberapa kali mengubah regulasi soal impor daging sapi. Terakhir, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 58/Permentan/PK.210/11/2015 tentang pemasukan karkas, daging, dan atau olahan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia baru diteken pada Desember 2015.
PINGIT ARIA