TEMPO.CO, Jakarta - Daya beli masyarakat yang cenderung melemah membuat inflasi pada Juni cenderung moderat di kisaran 0,54% dan 3,4% secara tahunan. Namun, kegagalan operasi pengendalian harga membuat angka inflasi lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Direktur Penelitian Center of Reform Economics (Core) Mohammad Faisal memproyeksikan laju inflasi moderat pada Juni 2016. Pendorong utama inflasi tetap dari kelompok bahan pangan.
Namun, hal tersebut bukan berarti upaya pemerintah mengendalikan harga sudah berhasil. Dia menilai, usaha pemerintah untuk mengendalikan harga menjelang Lebaran masih belum merata. Pemerintah hanya fokus pada pengendalian harga bahan pangan di Jawa khususnya di DKI Jakarta. Kebijakan pengendalian harga yang dipakai pun masih dengan cara menambah impor.
Menurut Mohammad, inflasi Juni bergerak moderat karena daya beli masyarakat belum pulih. “Jadi dari sisi permintaan juga tidak meningkat tajam, sehingga inflasi terdorong jadi lebih moderat,” katanya kepada Bisnis, Kamis (30 Juni 2016).
Hal yang sama diungkapkan Ahmad Heri Firdaus, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dia mengatakan inflasi Juni 2016 cenderung tinggi dari bulan-bulan sebelumnya karena pemerintah kurang berperan maksimal dalam mengendalikan inflasi menjelang lebaran terutama sektor pangan. “Permasalahan di tata niaga masih menjadi penyebab tingginya harga pangan di tingkat konsumen.”
Ekonom Kenta Institute Eric Alexander Sugandi menuturkan inflasi Juni memang relatif rendah dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu karena daya beli masyarakat cenderung berkurang. Meski demikian, angka inflasi tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lain karena ada kenaikan permintaan menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Namun, pemerintah bergerak lambat mengantisipasi kenaikan harga bahan pokok akibat lonjakan permintaan. Pada akhirnya, kebijakan yang dikeluarkan tidak efektif menurunkan harga. Dia mencontohkan upaya menurunkan harga daging sapi dari Rp130.000 per kilogram ke level Rp80.000 per kilogram yang tidak tercapai.
Dia mengimbau Presiden Joko Widodo mengurangi pernyataan yang kontraproduksi seperti keinginan agar harga pangan turun ke level tertentu yang tidak realistis. “Janji yang tidak bisa ditepati malah bisa menurunkan kredibilitas pemerintah.”
Sekitar enam hari menjelang Idulfitri, pemerintah mengklaim harga daging segar lokal nasional mampu turun dari sebelumnya di kisaran Rp115.000-Rp120.000 per kg menjadi Rp105.000-Rp110.000 per kg karena adanya guyuran daging impor.
Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan pemerintah sedikitnya baru menggelontorkan 500 ton daging beku impor dengan harga Rp80.000 per kg dan jumlah puluhan ribu ton izin impor yang dikeluarkan untuk Bulog, PT Berdikari, BUMD dan swasta.
“Syukur harga daging-daging secara umum mulai turun sedikit-sedikit, dan saya kira masuk ke hari H Idulfitri harga akan cenderung stabil dan akan terus menurun lagi,” katanya, di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (30 Juni 2016).
Dia menilai beberapa minggu berikutnya, ketika pemasukkan daging bertambah, harga daging terus akan cenderung turun setidaknya mendekati target harga yang dipasang pemerintah. “Pemerintah terus all out menambah pasokan dan stok untuk capai target yang dipasang.”
Sementara itu, ekonom Maybank Juniman justru menilai ada perbaikan daya beli masyarakat pada bulan keenam tahun ini. Namun, perbaikan tersebut hanya bersifat sementara karena masyarakat memperoleh tambahan pendapatan dari tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13. “Permintaan naik, tapi habis lebaran ada tidak?”
Dia menilai daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah masih akan rendah setelah Lebaran. Pendapatan mereka akan habis untuk makanan, transportasi, dan pendidikan.
Adapun untuk kelas menengah ke atas masih menunggu perbaikan kondisi perekonomian sebelum melakukan aksi konsumsi. Apalagi terdapat peristiwa Inggris hengkang dari Uni Eropa atau Brexit yang menyebabkan perekonomian semakin tidak menentu. Pemerintah harus memberikan sinyal perbaikan perekonomian agar kalangan menengah ke atas menggenjot konsumsi.