TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Badan Usaha Milik Negara Dewan Perwakilan Rakyat Teguh Juwarno memaparkan alasan komisinya menolak Penyertaan Modal Negara (PMN) bagi sejumlah perusahaan pelat merah. Sedikitnya tiga BUMN yang ditolak PMN-nya adalah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), PT Pelabuhan Indonesia III (Pelindo III), dan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI).
Menurut Teguh, keputusan Komisi menolak didasari perkembangan kinerja dan restrukturisasi keuangan Pelindo III. Perusahaan tersebut dinilai mampu mendapatkan sumber-sumber pembiayaan selain PMN. "Mereka kami lihat mampu membiayai rencana ekspansi," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 23 Juni 2016.
Selama ini, Teguh menilai, PPI juga mendapatkan keistimewaan konsesi, misalnya dalam impor. Mereka pun dianggap sangat bisa mendapatkan pembiayaan oleh perbankan. "Untuk Bahana, kurang-lebih sama. Mereka masih cukup melakukan leverage pembiayaan dari sumber non-PMB," tuturnya.
Hari ini, Komisi VI menyetujui usulan anggaran PMN bagi 20 BUMN. Awalnya, Kementerian BUMN mengajukan PMN bagi 23 BUMN. Namun pengajuan PMN bagi PT PPI sebesar Rp 1 triliun, PT Pelindo III sebesar Rp 1 triliun, dan PT BPUI sebesar Rp 500 miliar ditolak.
Selain itu, Komisi VI memotong usulan PMN bagi PT Hutama Karya sebesar Rp 1 triliun, yakni dari Rp 3 triliun menjadi Rp 2 triliun. Menurut Teguh, pemotongan itu dilakukan karena Hutama Karya telah mendapatkan PMN pada 2015. "Mungkin sekitar Rp 3 triliun," ujarnya.
Dalam rencana anggaran Hutama Karya hingga 2019, menurut Teguh, perusahaan tersebut juga akan mengajukan PMN setiap tahun. "Karena mereka membangun jalan tol Trans-Sumatera," katanya. Karena itu, Komisi VI pun memprioritaskan pemberian PMN bagi BUMN lain.
Hari ini, Komisi VI menyetujui usulan anggaran PMN dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 sebesar Rp 44,38 triliun bagi 20 BUMN. PMN tersebut terdiri atas PMN tunai Rp 28,25 triliun dan PMN nontunai Rp 16,13 triliun. Adapun BUMN penerima PMN terbesar pada 2016 adalah PT Perusahaan Listrik Negara, yakni Rp 23,56 triliun.
ANGELINA ANJAR SAWITRI