TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengimbau Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia bersama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) II membentuk kesepakatan terkait penyetoran dana kontribusi dari jasa bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok.
Direktur Kepabeanan Internasional Antar Lembaga Robert Leonard menyatakan memang belum ada payung hukum untuk menentukan besaran dana kontribusi dari perusahaan bongkar muat ke Pelindo II. Oleh sebab itu, perlu ada kesepakatan antara Pelindo II dan asosiasi terkait merumuskan porsi yang ideal agar tidak memberatkan salah satu pihak.
“Penentuan dana kontribusi itu adalah domain dari pengusaha dan Pelindo, kami dari Bea dan Cukai hanya bisa menegaskan agar bentuklah kesepakatan antar keduanya yang ideal dan tidak berdampak dengan kenaikan biaya logistik,” ungkap Robert kepada Bisnis.com, Selasa, 24 Mei 2016.
Robert menilai domain tersebut juga tak masuk dalam ranah instansi lain, misalnya Kementerian Perhubungan. Pasalnya mekanisme dana kontribusi masuk dalam kerja sama business to business. Dengan demikian, yang mengatur langsung adalah Pelindo II.
“Itu adalah masalah keduanya, Kemenhub juga tidak bisa mengintervensi sebenarnya. Kami sebagai regulator hanya bisa mengingatkan sesuai misi jangan membebani biaya logistik, kami tidak bisa memaksa mereka untuk menurunkan atau menghapuskan dana kontribusi,” ujar Robert.
Pada awal Mei lalu, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) sudah mengecam praktik pengambilan dana kontribusi 40 persen dari jasa bongkar muat sebagai pungutan liar oleh Pelindo I-IV.
Ketua Umum DPP APBMI Bambang Ketut Rachwadi mengatakan sesuai ketentuan yang berlaku selama ini setiap barang atau kargo yang di bongkar muat di pelabuhan sudah membayar uang dermaga dan bongkar muat sesuai tarif yang berlaku di masing-masing pelabuhan.
Bambang menyatakan hal itu bertepatan dengan pertemuan 20 DPW/DPC APBMI dalam mempersiapkan Musyawarah Kerja Nasional yang akan digelar pada pertengahan bulan ini.
Dia mengatakan sengaja mengumpulkan pengurus APBMI di seluruh Indonesia guna mendengarkan masukan dan persoalan yang dialami anggotanya berkaitan dengan ekspansi Pelindo II dalam pengelolaan pelabuhan saat ini.
APBMI, menurut Bambang, menilai bahwa imbal jasa/kontribusi bongkar muat yang ditarik oleh Pelindo II, termasuk kategori pungutan liar (pungli). Sebab, selain tidak ada dasar hukumnya dalam peraturan dan perundang-undangan apa pun sehingga memiliki kesan memaksa pengguna jasa.
Bambang berharap Kementerian Perhubungan segera turun tangan mengatasi masalah pungutan imbal jasa/kontribusi bongkar muat yang sudah cukup lama di pungut oleh PT Pelindo I-IV itu. Ketidakberadaan payung hukum menyebabkan besaran imbal jasa atau kontribusi bongkar muat bervariatif di setiap pelabuhan.
Misalnya, di Pelabuhan Tanjung Priok diterapkan imbal jasa (sharing) bongkar muat 40 persen, di Pelabuhan Belawan Medan dikenakan Rp 2. 500 per ton untuk barang umum (break bulk). Sementara itu, di Pelabuhan Cirebon imbal jasa bongkar muat untuk komoditi batu bara dikenakan tarif Rp 5.366 per ton dengan rincian kontribusi bongkar muat Rp 3.500 ditambah biaya lain-lain Rp 1.866.
Contoh lainnya, di Pelabuhan Panjang dipungut Rp 2.500 per ton untuk kargo curah kering, Pelabuhan Banten Rp 1.650 per ton dan di Pelabuhan Semarang dipungut imbal jasa Rp 5.115 per kubik terhadap komoditi kayu log serta komoditas lainnya memiliki nilai pungutan terendah, yakni Rp 1.600 per ton.