TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Indonesia bukan negara suaka pajak (tax haven). Meski demikian, Indonesia juga bukan negara neraka pajak. "Kalau Indonesia saya kira di tengah-tengahlah, bukan surga, bukan neraka (pajak) juga," kata Kalla, Senin, 23 Mei 2016, saat membuka acara International Conference on Tax, Investment, and Business (ICTIB) 2016 and 13th Asia-Pacific Tax Forum (APTF) di gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Jakarta.
Pandangan Kalla itu didasari kenyataan bahwa penerimaan pajak masih berada di angka 11 persen dibanding produk domestik bruto. Rasio pajak tidak sebesar negara-negara lain. "Tarifnya juga menengah, tidak serendah Singapura, tidak setinggi negara Skandinavia atau Amerika. Jadi, ya bukan surga bukan nerakalah," tutur Kalla.
Kalla mengatakan pajak penting bagi negara mana pun. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Dia menceritakan riwayat Romawi kuno yang mengatakan suatu negara yang kuat membutuhkan tentara. Tentara yang kuat butuh kuda yang baik dengan jumlah yang banyak. Untuk membiayai serdadu dan kuda diperlukan dana yang didapat dari pajak. "Itulah pentingnya pajak. Agar negara kuat."
Dalam konteks sekarang, Kalla menambahkan, pajak bukan hanya untuk bayar kuda dan tentara, tapi untuk membiayai apa saja, seperti gaji pegawai, membangun jalan, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya. Dengan kata lain, pajak penting bagi pembangunan suatu negara. Meski demikian, sebagian besar orang tidak suka dengan pajak. Mereka pun menghindari kewajiban membayar pajak.
Caranya dengan mencari negara-negara yang menyediakan fasilitas tax haven. Adanya istilah surga pajak, membuat Kalla bergurau ada negara neraka pajak. "Karena punya surga, berarti ada juga negara yang neraka pajak. Artinya, negara yang tarif (pajaknya) tinggi dan ketat," kata Kalla.
AMIRULLAH