TEMPO.CO, Jakarta - Konsultan bisnis digital, Riawan Paramarta, mengatakan Bursa Efek Indonesia belum ramah terhadap perusahaan perintis (start-up) di Indonesia. Padahal perusahaan start-up ketika sudah menjadi perusahaan besar, seharusnya sudah go public dengan menjual sahamnya di bursa.
"Saya lihat, belum start-up friendly, karena ada hal-hal yang belum cocok bagi perusahaan perintis," kata Riawan saat ditemui dalam sebuah lokakarya di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, Jakarta, Sabtu, 21 Mei 2016.
Riawan menyebutkan perusahaan start-up dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian entry, yang merupakan awal berdirinya perusahaan tersebut. Kedua itu adalah proses, di mana perusahaan tersebut mengalami masa-masa menuju ke perkembangan lebih lanjut.
Lalu tahapan berikutnya adalah tahapan exit, di mana perusahaan start-up harus sudah lepas dari modal ventura, dan mulai menjadi perusahaan besar sehingga dilirik oleh investor yang lebih besar. Di tahap exit inilah perusahaan disarankan mulai menjual sahamnya ke publik.
Riawan menambahkan, saat ini, hanya dengan bermodal power point saja sudah bisa mendapatkan modal. Meski harus diakui bahwa ada kesulitan bagi para pelaku start-up untuk bertemu dengan investor dan investor pun kesulitan mendapatkan informasi tentang start-up company di Indonesia. "Terjadi asimetris informasi."
Itu salah satu kelemahan untuk perusahaan start-up di Indonesia. Lalu kelemahan kedua adalah ada sejumlah produk yang ditawarkan oleh pelaku start-up yang ide mereka tak orisinal. "Misalnya, ada yang bilang ini WhatsApp buatan Indonesia."
DIKO OKTARA