TEMPO.CO, Yogyakarta - Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi peluang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk berkompetisi mengembangkan produk batik dengan pewarna alam. Harga batik dengan pewarna alam dibanderol mulai Rp 150 ribu hingga Rp 10 juta.
“Masalahnya bahan baku pewarna alam di Daerah Istimewa Yogyakarta kurang mencukupi,” ujar Hendri Suprapto, Ketua Warna Alam Indonesia, komunitas perajin pewarna alam pada acara Organic, Green, and Healthy Expo di Ndalem Tejokusuman Yogyakarta, Kamis, 12 Mei 2016.
Hendri mengatakan, MEA akan mendorong perajin batik untuk beralih ke pewarna alam. “Semua kalangan perlu menangkap peluang itu. Satu di antaranya perlu dukungan dari pemerintah,” katanya.
Di Yogyakarta, belum ada budi daya tanaman untuk pewarna alam batik, misalnya kulit jolawe, yang banyak didatangkan dari Jawa Timur. Di Yogyakarta, rata-rata perajin batik pewarna alam banyak menggunakan tanaman indigofera. “Persediaan bahan baku pewarna alam kurang. Perajin belum siap memenuhi kebutuhan MEA,” ucap Hendri.
Dia menyatakan turis banyak meminati batik pewarna alam yang lebih aman dari pewarna zat kimia. “Zat kimia berbahaya karena menyebabkan kanker. Sejak 1995, zat kimia dilarang melalui konferensi di Jenewa,” kata Hendri. Pesanan Batik Natural Colour miliknya banyak datang dari Jepang, Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. Mereka memesan batik pewarna alam sesuai dengan desain yang diinginkan. “Omzet per bulan mencapai Rp 20 juta,” ujar Hendri.
SHINTA MAHARANI