TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan ada dua alasan mengapa Indonesia masih menjadi negara "tertinggal" ketimbang negara-negara lain yang semakin maju.
"Pertama adalah masalah pengelolaan sumber daya manusia, dan kedua adalah pengelolaan sumber daya alam," katanya seusai rapat koordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil di Jakarta, Rabu, 11 Mei 2016.
Hadir dalam rapat tersebut, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi; Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng; Direktur Program Pengusahaan Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto; perwakilan Kementerian Perindustrian; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Kementerian Perhubungan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; serta sejumlah tokoh Maluku.
Menurut Rizal, pada 1960-an, rata-rata pendapatan per kapita negara-negara Asia sekitar US$ 100. Namun, 50 tahun kemudian, pendapatan per kapita negara-negara tersebut meroket jauh meninggalkan Indonesia.
Pendapatan per kapita Taiwan tercatat mencapai US$ 22.300, Korea Selatan US$ 27.200, Cina yang baru mulai membangun pada era 1980-an sudah mencapai US$ 8.000, Malaysia US$ 9.600, dan Thailand US$ 5.800. Adapun Pendapatan per kapita Indonesia kini baru mencapai US$ 3.400. "Kita lumayan, tapi tidak luar biasa," ujar Rizal.
Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menuturkan kesalahan pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya alam merupakan dua sebab utama tertinggalnya Indonesia. "Negara yang tidak punya SDA berfokus pada SDM. Akhirnya mereka ubah bangsanya jadi lebih maju, terampil. Kita ketinggalan. Makanya sekarang kita harus segera lakukan transformasi dari tenaga kerja Indonesia menjadi tenaga profesional Indonesia," tuturnya.
Masalah pengelolaan SDA, dinilai Rizal, disebabkan paradigma lama yang dianut Indonesia dengan konsep hanya tebang ekspor atau sedot ekspor. "Paradigmanya, tebang hutan, lalu ekspor. Sedot tanah di Papua lalu ekspor. Tidak dibangun industri hilir sehingga nilai tambahnya sedikit," ucapnya.
Rizal meminta pandangan pengelolaan SDA seperti itu diubah. Pasalnya, model pengelolaan SDA demikian hanya membuat pertumbuhan ekonomi rendah, yakni hanya 5-7 persen dengan kualitas pertumbuhan yang juga rendah. "Saya minta tolong, perlu perubahan paradigma pengelolaan SDM dari sekadar sedot ekspor, kita kembangkan nilai tambahnya," katanya menyinggung pengelolaan Lapangan Gas Abadi di Blok Masela, Maluku.
ANTARA