TEMPO.CO, Jakarta - PT Garam (Persero) sebagai badan usaha milik negara penghasil garam nasional mengaku kewalahan dengan banyaknya importer garam yang masih membeli garam dari luar negeri. Hal ini membuat surplus garam dalam negeri melonjak. Garam nasional pun mulai kehilangan pasarnya.
Menurut Direktur Utama PT Garam Achmadm Budiono, impor tersebut hanya dibutuhkan untuk pelaku industri yang membutuhkan bahan baku garam. “Kalau konsumsi masyarakat, kita sudah tidak perlu impor karena PT Garam dan produsen garam swasta sudah sangat mencukupi,” ujarnya saat berdiskusi dengan wartawan pada Senin, 9 Mei 2016, di Hotel Borobudur, Jakarta.
Dari data neraca garam yang dirilis PT Garam, saat ini kebutuhan masyarakat terhadap garam, yakni untuk rumah tangga dan pengasinan serta pengawetan ikan, mencapai 1.300.336 ton tiap tahun. Sementara itu, PT Garam dan produsen garam swasta dapat memproduksi 2.410.336 ton. Artinya, ada surplus garam yang sangat besar di sektor konsumsi.
Selanjutnya, garam di sektor industri mencapai 4.038.336 ton dalam setahun. PT Garam dan produsen lain hanya dapat memproduksi 3.050.336 ton dalam setahun. Itu artinya, konsumsi garam di sektor industri membutuhkan tambahan sekitar 1 juta ton per tahun.
“Dengan kebutuhan garam, industri kita masih mengimpor banyak sekali, yakni sekitar 2.176.000 ton setahun. Banyak industri yang tidak hanya memakai garam sebagai bahan baku, tapi juga menjualnya. Itu kan membuat harga garam kita anjlok,” ucap Budiono.
Untuk itu, Budiono berharap, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015 tentang ketentuan impor garam dapat segera diberlakukan. “Di situ sudah diatur bahwa kegiatan impor garam oleh industri hanya boleh digunakan sebagai bahan baku dan tidak boleh dijual.”
Menurut Budiono, kalau aturan ini berlaku, para produsen garam dalam negeri dapat memperluas pangsa pasar. "Dan yang paling penting adalah menyelamatkan garam nasional hasil para petani garam.”
LUCKY IKHTIAR RAMADHAN