TEMPO.CO, Jakarta - Senior Vice President Policy, Government, and Public Affair PT Chevron Indonesia Yanto Sianipar enggan berkomentar tentang temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait dugaan penyelewengan cost recovery sebesar Rp 4 triliun oleh Kontraktor Kontrak Kerjasama atau KKKS.
"Saya enggak boleh tanggapi itu. Itu bagian dari proses audit, sekarang sedang berjalan proses auditnya," kata Yanto saat ditemui dalam acara Investment Week di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis 5 Mei 2016.
Yanto menuturkan bahwa tiap tahun pihaknya menghadapi proses audit. Dalam audit BPK kali ini, Chevron sedang dalam tahap klarifikasi atas temuan itu. "Kan ada audit, terus ada klarifikasi. Masih dalam proses klarifikasi," ujarnya.
Baca: Cost Recovery 7 Perusahaan Migas, Nilainya Rp 4 Triliun
Ketika ditanya mengapa biaya cost recovery besar di saat harga minyak dunia yang sedang turun, Yanto menjawab bahwa yang diaudit oleh BPK adalah data yang lama bukan yang sekarang. "Dua-tiga tahun lalu. Kalau audit kan lama, cost recovery tetap ada."
Yanto mengungkapkan harga minyak turun, memang mengakibatkan turunnya biaya operasi. Namun tetap ada yang dinamakan cost recovery itu. "Kalau dalam sistem Production Sharing Contract (PSC), ya pasti ada cost recovery."
Yanto menambahkan bahwa dirinyak tak bisa menjelaskan secara detail. Namun menurut dia semua ada aturannya dan pihaknya sudah mengikuti PSC itu. "Saya enggak bisa detail. Kami ikut PSC," ucap dia menjelaskan.
Simak: Penuhi Energi Industri, RI Perlu Kembangkan PLTN Thorium
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan adanya dugaan praktik penggelembungan (mark up) dari biaya penggantian investasi atau yang disebut cost recovery yang dibebankan kepada negara di sektor hulu minyak dan gas. Hal ini diduga dilakukan secara sengaja dan berulang oleh tujuh KKKS, termasuk PT Chevron Pacific Indonesia.
DIKO OKTARA