TEMPO.CO, Jakarta - Analis First Asia Capital, David Sutyanto, memprediksi indeks harga saham gabungan (IHSG) dilanda sentimen negatif di perdagangan, Rabu, 4 Mei 2016. IHSG diperkirakan bergerak di teritori negatif di kisaran support 4.770 hingga resisten di 4.820.
Pasar saham dan aset berisiko lainnya kembali dilanda koreksi akibat kekhawatiran perlambatan ekonomi global meningkat. Rilis data manufaktur Cina dan Amerika mengindikasikan tren perlambatan kembali terjadi.
"Memburuknya sentimen pasar global dan kawasan ini akan mempengaruhi perdagangan hari ini sebelum libur panjang," kata David dalam siaran persnya, Rabu, 4 Mei 2016. Ia mengatakan saham pertambangan akan cenderung dilanda sentimen negatif, hari ini. Rally harga komoditas tertahan karena memburuknya data manufaktur Cina.
IHSG di perdagangan kemarin berhasil rebound setelah dua sesi perdagangan sebelumnya dilanda koreksi. Dengan penguatan terbatas, IHSG ditutup menguat 3,945 poin di 4.812,264.
David mengatakan penguatan IHSG kemarin terutama ditopang rebound saham perbankan dan pemodal lokal menjadi penopang utama aksi beli. Sedangkan pemodal asing cenderung melepas saham. Nilai penjualan bersih asing kemarin mencapai Rp 641,64 miliar.
Koreksi terutama dipicu aksi jual saham emiten grup Astra dan sektor tambang. Pasar cenderung melepas saham berbasiskan komoditas tambang setelah data aktivitas manufaktur di Cina April 2016 mengindikasikan terjadinya kontraksi.
Indeks Caixin Manufacturing PMI April 2016 berada di angka 49,4, di bawah perkiraan 49,8, dan bulan sebelumnya 49,7. Data yang kurang menggembirakan tersebut telah menekan pergerakan pasar saham kawasan emerging market, pasar saham global, dan harga minyak mentah tadi malam di Amerika.
Indeks The MSCI Emerging Market kemarin koreksi 1,7 persen di 821,09. Di Wall Street, indeks DJIA dan S&P terkoreksi masing-masing 0,78 persen dan 0,87 persen di 17.750,91 dan 2.063,37. Di kawasan euro, indeks saham Eurostoxx koreksi 1,93 persen di 2.974,20. Harga minyak mentah tadi malam di Amerika melemah 2,5 persen di US$ 43,65 per barel.
VINDRY FLORENTIN