TEMPO.CO, Yogyakarta - Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Muhammad Rudy Salahuddin, mengatakan sebagian besar pelaku UMKM berorientasi ekspor menggunakan jasa perantara karena lebih efisien. Kebanyakan negara ekspor yang dituju menerapkan standar produk yang ketat.
Ada pula syarat sertifikasi produk, pengepakan, dan label produk. Negara yang mewajibkan standardisasi itu di antaranya Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Uni Eropa. Sedangkan, negara di kawasan Asia yang telah menerapkan sistem itu yakni Jepang, Korea, Vietnam, Thailand, dan Cina.
Dengan memakai perantara ekspor, ongkos yang dikeluarkan UMKM untuk melakukan ekspor menjadi lebih tinggi. Dampaknya adalah keuntungan yang diperoleh lebih sedikit. “Kondisi ini harus diubah supaya UMKM bisa mandiri mengekspor,” kata Muhammad dalam acara dialog kebijakan bertajuk Peran Jasa Perantara Dalam Meningkatkan Ekspor Produk UMKM di Yogyakarta, Rabu, 20 April 2016.
Pemerintah, kata dia saat ini sedang menyusun konsep agregator dan konsolidator ekspor UMKM. Caranya adalah lewat peran lima BUMN trading-logistik. Mereka bertugas membantu perdagangan yang efektif, memenuhi standar kualitas, dan layanan logistik sehingga UMKM dapat mengekspor dengan biaya yang lebih rendah. BUMN itu terdiri dari PT Sarinah, Perusahaan Perdagangan Indonesia, Mega Eltra, BGR, dan Pos Indonesia.
Konsep agregator bicara soal sistem informasi dan integrasi data, perluasan pasar ekspor yang potensial. Agregator mengidentifikasi produk UMKM yang berstandar global. Bentuk standardisasi di antaranya membuat produk layak di pasar dunia, informasi produk yang gampang diakses. Di daerah, kepala daerah langsung mengawasi.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta,hanya sekitar 120 UMKM yang mengeskpor secara mandiri dari 400 eksportir. Sisanya menggunakan jasa perantara. Kepala Seksi Hubungan Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY, Minorita mengatakan kebanyakan UMKM berorientasi ekspor, yang menggunakan jasa perantara belum punya modal yang kuat. Kapasitas produksi mereka juga terbatas. “Banyak pelaku UMKM yang belum tahu prosedur ekspor-impor,” kata Minorita.
Ketua Komunitas UMKM DIY, Prasetyo Atmosutidjo, mengatakan jumlah pelaku UMKM berbasis ekspor yang mengirim produk secara mandiri kurang dari 50 persen dari total UMKM di daerah ini. Di DIY terdapat setidaknya 600 ribu unit UMKM. Ia mengatakan pelaku UMKM menggunakan jasa perantara untuk mengekspor produknya karena terkendala kemampuan bahasa dan akses ke buyer yang minim.
Pelaku UMKM harus merogoh kocek untuk membayar ongkos jasa perantara. Rata-rata ongkos perantara ekspor 15-25 persen dari omzet pelaku UMKM. Perantara rata-rata merupakan orang dari luar negeri yang datang ke Yogyakarta. Mereka ada yang bekerja secara profesional dan ada yang hanya sementara mengambil barang produk UMKM. “Harga produk UMKM menjadi tidak kompetitif karena biaya ekspor lebih mahal,” kata Prasetyo.
SHINTA MAHARANI