TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir untuk menumbuhkan ekonomi sebesar 1 persen, dibutuhkan modal yang lebih besar daripada periode sebelumnya.
"Sebabnya ada dua: pembangunan infrastruktur dan volume output komoditas pertambangan turun," ucap Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Maret 2016.
Darmin menjelaskan, dalam ilmu ekonomi, ada yang disebut Incremental Capital Output Ratio (ICOR), yang merupakan rasio atau perbandingan modal yang dibutuhkan secara nasional untuk melahirkan pertumbuhan 1 persen. "Itu bisa dihitung," ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, angka ini membesar, sehingga untuk melahirkan pertumbuhan 1 persen membutuhkan modal lebih besar. "Pertama, karena di tahun terakhir banyak yang membangun infrastruktur," tuturnya.
Menurut Darmin, modal pembangunan infrastruktur memang lebih mahal untuk menghasilkan pertumbuhan 1 persen. Kedua, volume output komoditas pertambangan turun, padahal modalnya naik. "Jadi itu persoalan yang dilalui suatu negara, seperti yang kita lalui dalam tahun-tahun terakhir."
Darmin menilai, jika nanti infrastruktur sudah jadi dan ada investasi di sektor industri, angka itu akan mengecil kembali. "Jadi bukan investasi tidak efektif, memang pilihannya harus buat infrastruktur dulu."
Sebelumnya, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Muliaman Hadad menilai pemanfaatan modal di Indonesia tidak efisien, karena peningkatan investasi tak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ia mengatakan pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) naik dari 7,5 persen menjadi 9,5 persen sepanjang 1985-2014.
Kontribusi terhadap produk domestik bruto juga baik dari 23 persen menjadi 33 persen pada periode yang sama. Namun indeks akumulasi kapital dan penggunaan modal terhadap PDB atau ICOR naik dari 4 persen menjadi 6 persen dalam 30 tahun terakhir.
Jika pada 1985 investasi sebesar 4 persen sudah mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 1 persen, pada 2014 dibutuhkan investasi 6 persen untuk meraih pertumbuhan ekonomi 1 persen.
DIKO OKTARA