TEMPO.CO, Jakarta - Transportasi berbasis aplikasi online menjadi polemik karena operasinya dinilai illegal. Toh, keberadaan mereka telah membuat banyak konsumen jatuh hati karena tarifnya lebih murah dibanding taksi reguler.
Toh perwakilan pemilik mobil Uber menyatakan tarif mereka sebenarnya fluktuatif, meski tarif dasarnya memang rendah. "Tapi kalau permintaan tinggi, harga juga akan naik. Seperti misalnya di Singapura, itu ada harga ramai," kata Sekretaris Jenderal Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama (Koperasi Trans UB), Musa Emyus dalam diskusi di Cikini, Jakarta, Sabtu, 26 MAret 2016.
Koperasi Trans UB mewadahi pemilik mobil pribadi yang ingin menyewakan kendaraan mereka lewat platform Uber. Berdiri sejak Maret 2015, koperasi ini sudah beranggotakan seribu pemilik mobil pribadi.
Di Indonesia, sistem tarif fluktuatif itu belum sepenuhnya diterapkan karena masa promosi. Keberadaan Uber masih baru dan permintaan belum banyak betul.
Selain itu, Musa menyebut, efisiensi adalah salah satu keunggulan taksi berbasis aplikasi dalam metepatkan tarif. Dengan bantuan aplikasi, sopir taksi dapat menjemput penumpang yang lokasinya paling dekat. "Ini belum optimal diadopsi taksi konvensional," ujarnya.
Musa menilai, transportasi konvensional seharusnya bisa menerapkan tarif lebih murah melalui efisiensi. Ia pun mengritik sistem pangkalan. "Bagusnya, untuk efisiensi rezim pangkalan bisa dihapus. Saya tahu karena pernah di taksi meter," tutur Musa. Sementara, jika tak mangkal, berkeliling mencari penumpang tanpa tujuan pun hanya akan menghabiskan bahan bakar.
Menurut Musa, kalaupun belum memiliki sumberdaya untuk mengembangkan aplikasi, managemen dan sopir taksi dapat mengganti sistem pangkalan dengan sistem antrean. Contoh antrean taksi yang cukup baik, menurutnya bisa ditemui di mal-mal. "Dengan antrean seperti itu, bisa diatur agar mobil yang tiba lebih dulu dapat penumpang lebih cepat juga," katanya.
PINGIT ARIA