TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi(SKK Migas) Amien Sunaryadi mengemukakan bahwa investor Blok Masela, Inpex Corporation, memutuskan untuk menarik 60 persen karyawan. Aksi ini disebabkan Pemerintah tidak kunjung memutuskan nasib pengembangan lapangan gas laut dalam tersebut.
"Kami khawatir ini dapat menimbulkan lay off (pemutusan hubungan kerja)," ujar Amien saat konferensi pers di kantornya, Rabu, 16 Maret 2016.
Amien mengemukakan sebenarnya perintah mengurangi karyawan sudah datang dari kantor pusat Inpex di Jepang sejak akhir Februari lalu. Karyawan Inpex, kata Amien, diminta bekerja di proyek lainnya. Perintah ini sesuai dengan pernyataan Senior Manager Communication and Relation Inpex Usman Slamet saat dihubungi Tempo awal Maret lalu.
Inpex baru melaporkan keputusan resmi kepada SKK Migas pada Jumat pekan lalu. Laporan baru disampaikan ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Rabu. Amien juga mengaku belum melaporkan hal ini ke Kementerian Tenaga Kerja maupun Pemerintah Provinsi Maluku.
Investor Blok Masela lainnya, Shell, juga memutuskan menarik mundur sekitar 43 insinyur yang bertugas di Blok Masela. Mereka di antaranya sembilan orang dari Jakarta, 9 orang dari Malaysia, dan 25 orang dari Belanda.
"Mereka diminta bekerja untuk proyek internal perusahaan di negara lain," kata Amien.
Diketahui perdebatan pengembangan Masela mengerucut ke dua skema pengolahan minyak. Kementerian Energi merekomendasikan skema kilang gas terapung (Floating Liquid Natural Gas/FLNG). Sementara Kementerian Koordinator Kemaritiman menginginkan gas diolah dengan skema kilang darat (Onshore LNG).
Inpex, kata Amien, juga memutuskan masa produksi Blok Masela mundur dua tahun dari jadwal, dari tahun 2024 menjadi tahun 2026. Pasalnya, Inpex memutuskan penyusunan keputusan akhir investasi pada 2020, atau molor dari target awal yakni 2018.
"Itu kalau keputusannya kilang terapung. Kalau darat waktunya makin tidak jelas," kata Amien.
Meski begitu, dia menjamin Inpex tetap berkomitmen menanam modalnya di Indonesia. Hal yang sama, menurut Amien, juga disampaikan oleh Shell. Hanya saja, dua perusahaan migas itu menyayangkan keputusan yang mengambang di tengah kebutuhan pemerintah akan investasi padat modal.
ROBBY IRFANY