TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menilai Pertamina belum sanggup untuk mengelola Blok Masela secara lepas pantai atau Floating Liquefied Natural Gas (FLNG). Staf ahli Kemenko Maritim Haposan Napitupulu mengatakan belum adanya operator yang mencoba pembangunan FLNG di Indonesia disebut-sebut menjadi alasan utamanya.
"Kalau membangun di darat Pertamina bisa," kata Haposan di kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Jumat, 11 Maret 2016.
Ia mencontohkan Malaysia melalui Petronas sedang membangun kilang LNG terapung. Menurut Haposan, pilihan itu diambil lantaran lapangan gas milik Petronas jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Blok Masela. Ia menyebut kapasitas produksi Petronas diperkirakan tiga sampai lima tahun saja sehingga pembangunan kilang darat dianggap tidak efektif.
"Jadi mubazir kalau dibangun di darat. Kalau di kapal begitu habis bisa pindah ke tempat lain," ucapnya.
Sementara untuk pembangunan kilang di darat, lanjut Haposan, Pertamina sudah mempunyai banyak pengalaman. Salah satunya ialah kilang Bontang dan Arun. Ia mengatakan dari sisi keamanan pengelolaan Pertamina patut diacungi jempol karena sudah menjadi acuan bagi operator lainnya.
Namun apakah Pertamina bisa mengelola Blok Masela, baik di darat ataupun di laut, Haposan menyebut sulit dilakukan. Pasalnya dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas tidak diatur jika regulator bisa menjadi operator atau pengelola juga. "Berbeda dengan Petronas, selaku regulator bisa jadi player," katanya.
Pengelolaan Blok Masela di wilayah Maluku Tenggara Barat masih memunculkan perdebatan. Perbedaan pandangan terjadi antara Menko Maritim Rizal Ramli dengan Menteri ESDM Sudirman Said. Sejauh ini, Kemenko Maritim lebih memilih pembangunan kilang darat sementara Kementerian ESDM sebaliknya.
Salah satu perbedaan pandangan ialah mengenai biaya pembangunan. Pembangunan kilang darat diperkirakan menghabiskan dana US$ 16 miliar, bukan US$ 19 miliar seperti usulan Inpex/Shell terakhir. Sementara biaya untuk FLNG versi Inpex dan Shell yang diusulkan ke pemerintah pada 2015 mencapai US$ 15 miliar.
ADITYA BUDIMAN