TEMPO.CO, Bekasi - Pertumbuhan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Kota Bekasi, Jawa Barat, stagnan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan hunian vertikal seperti apartemen yang mulai menjamur di wilayah timur Jakarta tersebut.
Kepala Dinas Bangunan dan Pemukiman, Kota Bekasi, Dadang Ginanjar mengatakan, Pemerintah Kota kesulitan mencari lahan untuk hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, kata dia, kebutuhan rumah di wilayah setempat cukup tinggi. "Setiap tahun jumlah penduduk bertambah. Target kami ada penambahan enam unit rumah susun," kata Dadang, Kamis, 10 Maret 2016.
Sebetulnya, kata dia, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat siap membangun rumah susun, asalkan lahannya tersedia. Tahun lalu, kata dia, pemerintah pusat membangun satu unit rusun di Bekasi Jaya, Bekasi Timur. Pembangunan itu menambah satu tower lagi yang telah terbangun sebelumnya. "Satu rumah susun ada 96 kamar," kata dia. Artinya, saat ini pemerintah baru mempunyai 192 kamar.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, masyarakat miskin di wilayah setempat pada tahun 2014 mencapai 140.900 jiwa atau 33.922 keluarga. Mayoritas adalah buruh serabutan, tukang becak, pemulung, dan profesi lainnya yang memiliki penghasilan di bawah U$ 2 dollar per hari.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bekasi Jumhana Lutfi mengakui pemerintah kesulitan untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi pembangunan rusunawa. Karena itu, secara bertahap, pemerintah bakal melakukan pengadaan lahan. "Kami prioritaskan di wilayah Bantargebang dan Mustikajaya," ujar dia.
Menurut dia, kebutuhan lahan untuk pembangunan satu unit rumah susun tersebut minimal 5.000 meter persegi. Karena itu, dibutuhkan dana yang cukup besar untuk pengadaannya, sebab harga tanah di Kota Bekasi semakin mahal. Jika harga tanah rata-rata Rp 2 juta per meter, artinya dibutuhkan Rp 10 miliar untuk kebutuhan satu rumah susun.
Jumhana mengakui, kalau pertumbuhan rumah susun sewa sederhana kalah pesat dibanding dengan pembangunan apartemen. Soalnya, kata dia, apartemen dibangun oleh pihak swasta dengan kepentingan bisnis. Adapun, harga apartemen jauh tak terjangkau oleh masyarakat miskin. "Kalau swasta gampang, punya lahan kemudian dibangun apartemen," ujar dia.
Berdasarkan data dari Dinas Tata Kota Bekasi, jumlah apartemen di wilayah setempat terus bertambah setiap tahunnya. Diantaranya tahun 2011 sebanyak satu unit, 2012 satu unit, 2013 tiga unit, 2014 13 unit, 2015 14 unit, dan tahun 2016 hingga Maret sudah mencapai empat unit.
Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara mengatakan, minimnya jumlah rusunawa berdampak pada relokasi warga yang bermukim di tanah negara atau pemukiman ilegal. Ia mencontohkan, ratusan kepala keluarga di RW 1 Kelurahan Margahayu atau di pinggir Kali Bekasi enggan digusur sebelum disediakan rumah susun. "Berbeda dengan Jakarta, gusur lalu dipindah ke rumah susun," kata dia.
Padahal, kata dia, lahan milik negara harus dikembalikan sebagaimana fungsinya, seperti ruang terbuka hijau maupun sarana umum atau sosial demi kepentingan masyarakat. Selain itu, pemukiman atau bangunan liar juga dianggap merusak keindahan kota. "Yang ingin ditertibkan meminta disediakan rumah susun, sementara rumah susun terbatas," kata Koswara.
Anggota Komisi Sosial Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi, Ronny Hermawan mengatakan, mengakui apabila lahan milik pemerintah cukup terbatas. Namun, tak serta merta bila lahan tak ada hanya diam diri. "Simpel saja, dianggarkan pembelian lahan," kata Ronny.
Menurut dia, pembangunan rumah susun juga dibuat terpadu. Misalnya ada ada pasar kecil, ada pusat kesehatan masyarakat, maupun sarana pendidikan. Hal itu, kata dia, dapat merangsang masyarakat berpenghasilan rendah untuk pindah ke rumah susun. "Daripada tinggal di pemukiman liar," kata Ronny.
ADI WARSONO