TEMPO.CO, Jakarta - Analis LBP Enterprise, Lucky Bayu Purnomo, berpendapat naiknya cadangan devisa Indonesia sebesar 2,34 persen atau mencapai US$ 104,5 miliar pada Februari 2016 tidak signifikan.
“Masih jadi importir. Ibaratnya, mengaku punya banyak uang di dompet, tapi hasilnya dari barang impor,” ujar Lucky, Rabu, 9 Maret 2016. Dia menuturkan, uang dalam bentuk devisa tersebut merupakan selisih dari penjualan luar negeri.
Menurut Lucky, naiknya cadangan devisa akibat impor tidak akan mengubah apa-apa. “Kecuali dari hasil ekspor,” katanya. Dia menyarankan seharusnya produk-produk dari Indonesia dijual ke luar negeri lalu uangnya dijadikan devisa. “Pemerintah harus tekan impor dan mendorong ekspor.”
Selain tidak signifikan, kenaikan cadangan devisa ini dianggap tidak berdampak pada pertumbuhan sektor. Menurut Lucky, yang memberikan dampak pada pertumbuhan sektor bukanlah cadangan devisa, melainkan rupiah dan suku bunga.
Bank Indonesia menyatakan jumlah cadangan devisa hingga akhir Februari 2016 mencapai US$104,5 miliar atau naik 2,34 persen dibanding posisi Januari 2016 yang sebesar US$102,1 miliar.
Peningkatan tersebut dipengaruhi penerimaan devisa migas, penarikan pinjaman pemerintah, dan hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) berdenominasi valas.
Posisi cadangan devisa per akhir Februari 2016 itu cukup untuk membiayai 7,6 bulan impor, atau 7,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah tersebut berada di atas standar kecukupan internasional, yakni cadangan devisa setara dengan kebutuhan tiga bulan impor.
Dengan peningkatan ini, otoritas moneter menilai posisi cadangan devisa mampu mendukung ketahanan dari gejolak sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa waktu ke depan.
BAGUS PRASETIYO