TEMPO.CO, Yogyakarta - Novi Paluch masih ingat betul, lima tahun lalu, nyaris tidak ada orang yang mengenal batik Indonesia di Buffalo New York, sebuah kota di Amerika Serikat yang berbatasan dengan Toronto, Kanada. Jangankan batik, orang di sana juga mengira Bali ada di Thailand. “Menyedihkan,” kata perempuan 42 tahun itu kepada Tempo di Yogyakarta Sabtu, 20 Februari 2016.
Sepuluh tahun lalu, Novi hijrah Buffalo karena mengikuti suami yang berkewarganegaraan Amerika. Begitu tinggal di sana, terlintas dalam benaknya untuk memperkenalkan batik kepada masyarakat Amerika. Padahal, saat di Indonesia, ia justru antibatik. “Terlihat tua dan tidak dinamis,” ucapnya.
Novi kemudian mengenakan beberapa produk batik dari Yogyakarta saat bepergian atau pada saat datang ke acara. Perempuan dengan rambut berpotongan bob ini bercerita, mereka banyak bertanya-tanya saat pertama kali melihat batik. “Ini apa? Bahannya bagus sekali,” ujarnya.
Dari situlah ia memutuskan untuk membuka gerai batik pertama di Kota Buffalo. Dengan label Sasmita Batik, produk yang ia pasarkan beragam, mulai dari celana pendek, jumpsuit, dres, atasan, kemeja, dompet, dan aneka aksesori dengan kisaran harga US$ 15-150. Batik cap menjadi primadona. “Orang sana tidak terlalu suka printing,” ucapnya.
Gerai batiknya terus berkembang, Novi kemudian mendesain sendiri produk batik yang ia jual. Alasannya, karena model batik yang ada di Indonesia tidak sesuai dengan selera masyarakat Buffalo New York. Mereka menyukai model terusan maxi tanpa lengan. “Sangat simpel, tetapi mereka juga tidak suka yang terlalu terbuka,” tutur istri dari Rocky Paluch ini.
Alumnus Unitomo Surabaya itu tak sekadar menjual batik, ia juga memberikan informasi seputar batik, termasuk merekomendasikan padu padannya. “Pernah ada konsumen yang nyinyir soal batik lawasan dan menganggap produk yang saya jual itu barang bekas,” kata dia sambil tertawa. Ia pun menjelaskan bahwa batik lawas justru banyak dicari para kolektor batik. Sepekan kemudian konsumen itu kembali dan memborong baju batik lainnya.
Gerainya paling ramai dikunjungi saat summer atau musim panas. Ketika itu orang berlomba-lomba mencari baju yang digunakan untuk jalan-jalan. Sarung batik menjadi idola, karena masyarakat memakainya sebagai sarung pantai. Wali kota juga menghargai usahanya karena dianggap ikut menggerakkan roda perekonomian di kota itu. “Saya orang pertama yang nekat buka usaha di pusat kota, sementara banyak orang memilih buka toko di pinggir kota,” kenangnya.
Sejumlah media massa pun mengulas batik karya perempuan yang pernah sepuluh tahun bekerja di Bursa Efek Jakarta ini. Spree Magazine yang dikenal sebagai majalah gaya hidup kelas atas pun ikut memberitakan batik Indonesia. Ketenarannya juga sudah diakui Konsulat Jenderal Indonesia. “Dalam setiap promosi, nama Sasmita Batik selalu dicantumkan,” kata Novi.
Kini, goresan canting dan lilin itu sudah menjadi bagian dari keseharian warga Buffalo New York. Kemarin, ia datang ke Yogyakarta menemui para perajin yang selama ini memasok satu kontainer batik setiap tahun ke gerainya di Amerika. “April nanti saya berencana menggelar peragaan busana batik diiringi gamelan,” katanya.
SWITZY SABANDAR