TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro berharap suatu hari nanti jika negara ingin berutang, maka cukup berutang pada masyarakatnya sendiri. Hal ini merupakan cara yang dilakukan oleh Jepang untuk menjaga stabilitas ekonominya.
"Di Jepang, debt to GDP ratio-nya (rasio utang terhadap produk domestik bruto) mencapai 200 persen, jauh di atas Indonesia yang masih 27 persen," kata Bambang di Kementerian Keuangan pada Kamis, 18 Februari 2016.
Bahkan, Bambang mencatat, dari seluruh utang Indonesia, investasi asingnya masih 39 persen. Hal ini selalu diributkan oleh pihak domestik atau asing terkait isu sudden reversal atau penarikan dana asing secara mendadak dan besar-besaran dari surat utang Indonesia.
"Jadi selalu ada bayang-bayang ketidakstabilan. Ini harus diperbaiki bagaimana rasio utang terhadap PDB bisa 200 persen, tapi investasi asing di bawah 10 persen. Sehingga tidak ada lagi isu sudden reversal," kata dia.
Bambang menuturkan, mendekatkan masyarakat umum dengan instrumen investasi bukan hal yang mudah. Sebab, selama ini masyarakat berpikir yang paling mudah berinvestasi adalah dengan cara menempatkan deposito di bank. Di luar itu akan sulit, seperti reksadana atau jual-beli saham.
Selain itu, kesulitan membawa masyarakat untuk berinvestasi di luar deposito adalah karakter masyarakat yang tidak berani mengambil risiko. Sehingga, tidak mudah memindahkan dana masyarakat dari deposito ke reksadana dengan hanya menurunkan tingkat bunga simpanan.
"Meskipun tingkat bunga deposito menjadi lima persen, kemudian didorong ke reksadana atau saham, mungkin mereka akan tetap memilih deposito, karena belum ada yang membuat mereka merasa benar-benar aman," ujar Bambang.
Bambang menilai, sukuk negara ritel bisa menjadi jembatan antara basis investor yang besar dengan instrumen keuangan yang kurang dimengerti oleh investor kecil. Sehingga, jika banyak yang membeli sukuk ritel maka negara akan aman. Kemudian, investor yakin tidak akan kehilangan uangnya.
LARISSA HUDA