TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) Ody Mulya Hidayat mengungkapkan alasannya menolak revisi daftar negatif investasi (DNI) yang akan direncanakan pemerintah. Kebijakan tersebut dinilai terburu-buru dan sebaiknya dikaji terlebih dahulu sebelum akhirnya benar-benar dibuka. "Paling tidak dikaji selama lima tahun," katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 8 Februari 2016.
APFI menolak jika pihaknya dianggap tidak sanggup berkompetisi dengan film asing karena menentang kebijakan ini. Ody menyebutkan bahwa pemeirntah terlalu tergesa-gesa dalam memutuskan suatu kebijakan.
Menurut Ody, tidak ada yang bisa menjamin industri asing yang masuk itu bisa loyal terhadap perfilman di Indonesia. "Begitu dibuka dan kemudian perusahaan film asing itu masuk, maka kita tidak bisa menahan lagi arus mereka."
Ody menilai perusahaan asing tentu akan mencari keutungan untuk mereka sendiri ketimbang mempertahankan produk film dalam negeri. Mekanisme perputaran film tentunya akan berjalan sesuai dengan kebijakan mereka sendiri.
"Saya jamin mereka tidak ada yang loyal dengan film nasional. Sekarang saja sudah kelihatan beberapa bioskop tidak memprioritaskan film nasional," Ody berujar.
Menurut Ody, sebaiknya dalam memutuskan kebijakan DNI pemerintah lebih realistis. Industri perfilman nasional sebaiknya merefleksikan kemampuan dan kompetisi produk mereka masing-masing. Ody masih melihat beberapa industri film nasional yang hanya ikut meramaikan namun belum nampak prestasinya.
Baca: Bekraf: 10 Asosiasi Film Dukung Revisi DNI, Satu Menolak
"Ribuan layar digelar kalau kita belum bisa bersaing ya percuma. Tidak akan menambah jumlah penonton film nasional," kata Ody.
Ody meyakini, kebijakan merevisi ini berkaitan erat dengan bisnis. Sementara, di dalam bisnis, laba merupakan indikator utama untuk meneruskan lanjut atau tidaknya suatu industri.
Saat ini, menurutnya, kondisi perfilman Indonesia belum bisa benar-benar sejajar dengan asing. "Ini sudah bukan apple to apple lagi. Kalau ada film nasional yang nggak laku, ya dibuang dan ditendang," kata Ody.
Selain itu, menurut Ody, produksi dan promosi, industri nasional belum cukup bersaing dengan asing. Investasi asing yang begitu terbuka akan terus menggerus film nasional.
Baca: Pemodal Asing Boleh Bangun Bioskop, XXI: Kami Terima
Ody mencontohkan industri film yang telah mampan, seperti di Korea. Menurutnya, industri film Korea, tanpa promosi pun sudah bisa berjalan karena kualitasnya sudah diakui dunia. Sedangkan perfilman Indonesia masih harus merangkak untuk mencapai itu semua. "Selain industri dalam negeri terancam, budaya Indonesia juga akan berpengaruh."
LARISSA HUDA