TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan para pelaku industri kehutanan meminta perhatian dari pemerintah ihwal kebijakan fiskal. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia yang hadir dalam rapat terbatas meminta keringanan pajak. Beberapa pajak yang diterapkan di sektor kehutanan, seperti provisi sumber daya hayati, pajak nilai tegakan, dan pajak bumi bangunan.
Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup akan mengkaji pajak mana saja yang dinilai memberatkan industri, khususnya di sektor kehutanan. "Sementara dengan pajak lainnya kami akan koordinasi dengan Kementerian Keuangan karena menyangkut penerimaan negara bukan pajak," ucap Nurbaya di Jakarta, Selasa, 2 Februari 2016.
Baca juga: Genjot Penerimaan Negara, Kursi Panas Dirjen Pajak Mendesak
Nurbaya mengungkapkan pemerintah dan pelaku industri kertas sedang berupaya mengembangkan tanaman industri. Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Nurbaya menyebut dari 10,7 juta hektare hutan tanaman industri yang berizin baru 4 juta hektare yang efektif dikelola. "Kami berupaya mengembangkan strategi yang pas seperti apa," katanya.
Industri kehutanan, menurut Siti, mempunyai potensi yang besar. Namun upaya meningkatkan kompetisi kerap terganggu oleh kondisi di lapangan yang jauh dari harapan.
Banyaknya industri kayu di Pulau Jawa menjadi satu perhatian pemerintah. Menumpuknya industri kayu di Pulau Jawa membuat harga kayu menjadi mahal. Selain itu juga ada persoalan di level regulasi dan diskriminasi antara produk kayu impor dan kayu ekspor.
Baca juga: Menteri Keuangan: Petugas Pajak Sekarang Tidak Takut Preman
Mantan Ketua Asosiasi Emiten Indonesia Airlangga Hartarto menjelaskan salah satu yang menjadi perhatian pelaku industri adalah persoalan bahan baku yang diatur di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39 Tahun 2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non B3. Selain itu ada juga hambatan di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan. "Kami berharap mengkaji ulang aturan itu," ucapnya. Tujuannya adalah untuk menekan biaya.
Selain itu, asosiasi juga meminta ada kelonggaran dalam hal sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK). Menurut Airlangga, berubah-ubahnya aturan mengenai SVLK membuat proses ekspor kayu ke Eropa menjadi berbelit-belit dan memakan waktu. "Kami juga kena biaya US$ 2.000 per kontainernya," katanya. Ia khawatir persoalan ini akan menjadi hambatan ke depannya.
ADITYA BUDIMAN