TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah pandangan dunia atas kondisi perekonomian China, Negeri Tirai Bambu itu mencoba membangun citra optimis melalui artikel di kantor berita resminya, Xinhua.
Berbeda dengan segala cerita muram mengenai pasar China, tur di sekitar kawasan bisnis Beijing, dengan China World Trade Centernya justru , menyajikan perspektif yang sangat berbeda. Demikian tulis Xinhua.
Dari jumlah toko Starbucks hingga sewa kantor, sedikit diketahui "indeks" kepercayaan bisnis asing dalam perekonomian China.
"Indeks" Starbucks
Berjalan ke setiap Starbucks di Beijing, orang akan sulit menemukan tanda-tanda perlambatan ekonomi. Antrean panjang dan kursi yang selalu penuh, para pelanggan kelas menengah tidak pernah ragu membayar 30 yuan (sekitar 4,6 dolar AS) untuk sekadar minum kopi latte.
Sejak toko pertamanya dibuka di China pada 1999, Starbucks telah memperluas lebih dari 1.900 gerai di 99 kota, membuat China sebagai rantai pasar terbesar di luar Amerika Serikat.
Pada 2019 perusahaan menargetkan memiliki 3.400 toko di China, yang berarti sebuah gerai starbucks akan bermunculan tiap harinya.
"Market kami sangat naik di pasar China dan akan terus mengembangkan bisnis kami di sini seperti yang kita lakukan sebelumnya," ujar Hao Yan, manajer komunikasi Starbucks Beijing, kepada Xinhua, seperti dimonitor Selasa (2/2/2016).
"Indeks " Sewa Kantor
Ini bukan hanya tentang bangun dan merasakan kopi, "indeks" yang lain untuk melihat ke dalam tren sewa kantor, yang, sampai batas tertentu, bisa dilihat sebagai tolak ukur ekonomi China.
Sewa bulanan di China World Trade Center turun tajam menjadi 200 yuan per meter persegi selama krisis keuangan pada tahun 2009, tetapi bangkit kembali menjadi 400 yuan pada tahun berikutnya. Demikian menurut CBRE, perusahaan layanan real estate yang merilis laporan per kuartal atas persewaan kantor.
Sementara kesehatan industri realestat suatu negara berkorelasi erat dengan siklus ekonomi, sewa ruang kantor juga merupakan barometer ekonomi siklis.
Sejak 2010, jumlah sewa kantor telah meningkat di seluruh China. Net "serapan," sebagai ukuran seberapa cepat pasokan yang tersedia terjual, meningkat pada 2015 sebesar 70 persen pada wilayah kota - Beijing, Guangzhou, Shanghai dan Shenzhen - kata CBRE.
Menurut para analis, meningkatnya indeks sewa itu sebagian didorong oleh perusahaan-perusahaan asing yang terus berinvestasi di China.
Raksasa energi Shell, misalnya, baru saja menempati sebuah kantor di gedung pencakar langit Beijing.
"Karena meluasnya bisnis kami di China, ruang kantor kami saat ini tidak bisa lagi menampung jumlah karyawan kami yang meningkat," kata Li Lusha, juru bicara Shell China.
"Indeks" Keyakinan CEO
Starbucks dan Shell tentunya tidak sendirian bertaruh di pasar China.
"Indeks" yang lain, para CEO global yang tidak berpikir ekonomi China terlalu buruk
"Kenyataannya ekonomi di China jauh lebih baik daripada yang orang sekarang katakan," ujar Joe Kaeser, CEO raksasa industri Jerman Siemens AG.
Siemens telah pulih "banyak" dari pangsa pasar China berkat peluang bisnis baru di bidang-bidang seperti manajemen energi, katanya.
Dalam sebuah survei CEO global tahunan yang diterbitkan PricewaterhouseCoopers (PwC) pada bulan Januari, lebih dari sepertiga CEO global masih menganggap China tempat paling penting bagi prospek pertumbuhan secara keseluruhan dalam 12 bulan ke depan.
Dalam sebuah survei terpisah oleh PwC, 93 persen CEO yakin pendapatan mereka di China akan meningkat dalam tiga sampai lima tahun ke depan.
PwC memperkirakan skala ekonomi China akan berlipat ganda menjadi 20 triliun dolar AS pada 2030, membuatnya sebagai negara ekonomi terbesar di dunia.
ANTARA