TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) lebih memilih merevitalisasi mesin percetakan ketimbang membuka pabrik baru. “Kalau bangun pabrik nanti eksposur terhadap dolar Amerika Serikat,” kata Direktur Utama PNRI Djakfarudin Junus di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Jakarta, Kamis, 22 Januari 2015.
Dalam dua tahun terakhir, Djakfar mengatakan PNRI lebih berhati-hati dalam menjalankan strategi bisnis, terutama pada pembangunan pabrik baru. “Kalau bangun pabrik, kapasitasnya belum terpakai benar,” kata dia. Ditambah lagi, Djakfarudin meneruskan, pembangunan pabrik baru membuat biaya per unit menjadi tidak kompetitif.
Saat ini, PNRI mempunyai 13 pabrik. Untuk merevitalisasi mesin di pabrik-pabrik tersebut, perusahaan pelat merah ini menganggarkan biaya sebesar Rp 50 miliar. Menurut Djakfarudin, revitalisasi mesin merupakan strategi yang tepat bagi perusahaan. “Nanti kami akan multipurpose. Jadi bisa juga untuk mencetak buku dan digital printing,” kata Djakfar.
Direktur Keuangan dan Strategi PNRI Satrio Sigit mengatakan anggaran Rp 50 miliar tersebut tidak hanya digunakan untuk revitalisasi mesin. Namun sebagian juga dialokasikan buat membeli mesin baru. Musababnya, mesin-mesin milik PNRI buatan produksi medio 1990-an. “Di kantor utama saja kami mempunyai 14 mesin percetakan,” ujar Satrio.
Untuk meningkatkan pendapatan perusahaan, PNRI menjalin kerja sama dengan BUMN lainnya seperti Balai Pustaka. Kerja sama di antara keduanya berupa mencetak buku. Dan, juga beraliansi dengan perusahaan swasta. “Kalau kami jalan sendiri tidak terlalu kuat, jadi kami berbagi produksi,” katanya.
SINGGIH SOARES