TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja industri baja lapis seng di Sulawesi Selatan diproyeksi mampu tumbuh hingga 24 persen seiring dengan tren pengadaan hunian representatif yang menggunakan material tersebut oleh segmen menengah di daerah.
Managing Director PT Sermani Steel, produsen BjLS yang berbasis di Makassar, Rudy Syamsuddin, mengemukakan proyeksi pertumbuhan tersebut ditopang pula langkah pemerintah yang menertibkan peredaran produk yang tidak berstandar di daerah tersebut.
Menurutnya, Sermani memproyeksikan penjualan produk BjLS di Sulawesi Selatan bakal mencapai 21.000 ton, di mana sebagian besar bakal terserap di daerah luar Makassar.
Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi penjualan sepanjang tahun lalu yang mencapai 17.000 ton secara kumulatif dari seluruh distributor rekanan perusahaan.
"Kita lebih menyasar segmen menengah yang terus mengalami peningkatan, apalagi ekonomi Sulsel cenderung tetap terjaga dan itu ada pengaruhnya pada daya beli masyarakat yang tetap tinggi," katanya, Kamis (21 Januari 2016).
Sejauh ini, kapasitas pabrik BjLS Sermani Steel secara maksimal mampu mencapai 4.000 ton per bulan namun realisasi produksi secara rerata sebanyak 2.500 ton per bulan.
Dia menjelaskan, produksi BjLS tersebut mampu lebih tinggi dengan menyesuaikan besaran permintaan pasar di Sulsel untuk atap jenis tersebut.
Adapun penjualan produk perusahaan dilakukan melalui 7 jaringan distribusi yang tersebar pada sejumlah kabupaten/kota di Sulsel yang memiliki tingkat permintaan yang relatif tinggi.
Menurut Rudy, perusahaan juga tengah mulai memasarkan produk BjLS jenis galvalum yang dilakukan secara bertahap. "Untuk tahap awal ini kita pasarkan cuma 500 ton, nanti setelah kita lihat ada perkembangan, permintaan naik barulah kita pasarkan dalam skala besar," paparnya.
Di sisi lain, Rudy yang juga tercatat sebagai Ketua Gabungan Pabrik Seng Seluruh Indonesia (GAPSI) tersebut meminta agar pemerintah menungkatkan lagi pengawasan BjLS tanpa SNI lantaran bakal memicu persaingan tidak sehat.
Produsen yang mematuhi SNI diperkirakan akan mengalami kebangkrutan karena dengan standar ketebalan yang lebih tinggi, produsen harus mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar sehingga menyebabkan harga jual produknya akan lebih mahal. "Selain itu, secara prinsip kita siap bersaing dengan produk impor tetapi tentunya harus sesuai dengan aturan. Ada SNI-nya dan lainnya," papar Rudy.