TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak dunia yang terus menurun hingga mencapai US$ 28 per barel tak menyurutkan rencana perusahaan minyak asal Amerika Serikat, Royal Dutch Shell, untuk berekspansi. Perusahaan berlambang kerang kuning tersebut memastikan proses pembelian perusahaan minyak asal Inggris, BG Group, senilai 47 miliar pound sterling tetap berjalan.
Seperti yang dilansir laman BBC, bos Shell Ben van Beurnden optimistis pencaplokan tersebut akan menjadi langkah yang menguntungkan bagi pihaknya. "Penyelesaian transaksi dengan BG hanya tinggal menunggu waktu beberapa pekan saja," ujar Ben van Beurden, Rabu, 20 Januari 2016.
Manuver Shell tersebut meninggalkan pertanyaan. Selain harga minyak yang terus melorot, pendapatan Shell pun tak sesuai dengan harapan. Pendapatan kuartal IV 2015 Shell diprediksi ada di kisaran 1,6-1,9 miliar pound sterling, tak sampai setengah dari pendapatan pada kuartal IV tahun 2014 sebesar 4,2 miliar pound sterling.
"Sudah jelas ini transaksi yang menantang," ujar pengamat energi dari Schneider Electric David Hunter. Nilai 47 miliar pound sterling, kata dia, merupakan nilai tawaran yang diajukan April lalu. Pada saat itu harga minyak sebesar US$ 55 per barel, sedangkan saat ini harga minyak sudah terpangkas separuhnya.
"Namun ada keyakinan kalau harga minyak akan kembali pulih," tuturnya. Karena itu, Hunter yakin jika transaksi ini bakal terlaksana.
Berbeda dengan Shell, pasar-pasar di dunia justru terlihat panik. Selain turunnya harga, pasar pesimistis permintaan minyak akan bagus seusai rapor ekonomi tahunan Cina yang buruk. Bursa saham Australia, The S&P/ASX 200, ditutup turun 1,26 persen menjadi 4.841,5 karena harga minyak menyentuh level terendahnya sejak 2003.
Hal serupa turut terjadi di kawasan Asia. Indeks Nikkei turun tajam 3,71 persen di poin 16.416,1. Tak ketinggalan indeks Kospi di Korea Selatan dan indeks Hang Seng di Hong Kong, masing-masing turun menjadi 1.845,4 (2,34 persen) dan 18.960 (3,44 persen).
BBC | ANDI RUSLI