TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Hubungan Antar-Lembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif Endah W. Sulistianti mengatakan ada beberapa persoalan yang perlu diselesaikan bila Indonesia ingin menjadi kiblat mode hijab dunia.
Masalah pertama yang harus dibenahi adalah ongkos produksi yang masih tinggi lantaran harus mengimpor bahan kain katun dari Cina. "Ini benar-benar harus dibereskan," katanya saat ditemui Tempo di kediamannya, Kemanggisan, Jakarta, Senin, 11 Januari 2016.
Dia juga mengingatkan, jangan sampai keinginan Indonesia menjadi kiblat mode hijab mengorbankan penyerapan tenaga kerja. Sebab, produsen hijab akan menghitung perbedaan biaya jika memproduksi hijab di dalam negeri dibanding mengimpor bahan dari luar negeri.
"Misalnya di sini satu Rp 150 ribu sudah termasuk segala macam. Tapi kalau impor bahan langsung jahit di Cina cuma Rp 75 ribu," ujarnya. Bila hal ini tidak dibenahi, menurut Endah, perkembangan bisnis hijab dalam negeri tidak akan memberikan manfaat terhadap penyerapan tenaga kerja.
Endah menambahkan, peluang Indonesia menjadi kiblat mode hijab dunia terbuka lebar karena bisnis pakaian muslim sedang naik daun di berbagai belahan dunia. Akhir Januari ini, lembaganya bersama Kementerian Perindustrian; Kementerian Perdagangan; serta Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah akan membuat peta jalan pencanangan menuju Indonesia kiblat hijab dunia.
"Semua pihak kami kumpulkan, termasuk produsen hijab terbesar, Shafira," tuturnya.
AHMAD FAIZ