TEMPO.CO, Jakarta -Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) resmi diberlakukan pada awal tahun 2016, namun beberapa pihak menilai belum begitu siap guna menghadapi era perdagangan bebas MEA itu. Diantaranya, para pelaku usaha di sentra industri rajutan Binong, Kota Bandung.
Salah satu pengusaha rajutan di Binong, Winarti, 40 tahun, mengaku harus memutar otak guna bisa menembus persaingan pasar bebas MEA itu. Pasalnya, kata dia, jangankan diberlakukan MEA, kemarin-kemarin saja ketika maraknya pedagang pakaian bekas impor, dia beserta rekan-rekannya yang sama-sama bergulat di dunia bisnis rajut cukup kewalahan lantaran sepi konsumen.
"Kayanya kalau dari banyaknya barang dari luar negeri ke Indonesia, penghasilan kami jadi turun. Apalagi sekarang sistem MEA mulai diberlakukan," ujar Winarti saat ditemui Tempo di kawasan Sentra Industri Rajut Binong, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Senin, 4 Januari 2016.
Menurut Winarti, salah satu kunci agar pengrajut seperti dirinya bisa bertahan di tengah persaingan pasar bebas MEA, yakni adanya sokongan dari pemerintah seperti modal dan yang kebijakan lainnya yang berpihak kepada para pelaku industri kecil.
"Sebetulnya silahkan saja mau gimana lagi, asalkan pemerintah mendukung. Pemerintah bantu aja ya, jangan dari luar masuk ke pasar kita tapi pemerintah nggak bantu," ujar dia.
Selama ini, kata dia, untuk masalah pemasaran hasil rajut miliknya kebanyakan dipasarkan menuju daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. "Ke luar negeri juga ada, ke Thailand sama ke Nepal. Sekarang yang ke Thailand mesan 200 lusin, ini masih belum beres," katanya.
Biasanya, kata dia, untuk pemesanan dari luar negeri, sistem yang digunakan yakni melalui orang ketiga. Jadi, lanjut dia, si konsumen tidak langsung datang menuju Bandung tapi melalui perantara di Jakarta. "Kami tahunya dari Jakarta datang kesini, jadi kami nggak urus-urus masalah biaya kirimnya," ujar pemilik toko rajut Cahaya Samudra itu.
Untuk omset yaang diperoleh, rata-rata per hari dia meraup keuntungan sekitar Rp 4-5 juta. "Selain disini saya punya toko di pasar Andir, ada dua lokasi disana, di lantai 1 dan 2, selain itu kita pemasaran lewat online juga, kalau penjualan sih lebih kenceng di online," katanya.
Hal senada diungkapkan pengrajin rajut lainnya, Rudi Chaniago, 40 tahun, yang mengatakan kendala terbesar dalam menghadapi MEA yakni masalah permodalan. Menurut dia, kalau masalah modal tidak kuat, niscaya parq pelaku bisnis rajut yang notabene tergolong dalam skala industri kecil menengah tidak akan mampu bersaing.
"Industri rajutan sebenarnya sudah siap menghadapi MEA, cuma kendalanya permodalan itu. Bisa sampai empat kali lipat modalnya, apalagi pembayaran untuk bahan baku ini harus kontan tapi harga bahan baku di sini terlalu tinggi," ujarnya.
AMINUDIN A.S.