TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan insinyur Indonesia harus mampu bersaing dengan tenaga asing, terutama dalam membangun infrastruktur dalam negeri. "Pada saat semua berpikir tidak bisa, mesti orang Jerman, Prancis, dan lain-lain, saya katakan tidak, mesti orang kita semua. Justru karena tidak pernah maka tidak bisa," kata JK--panggilan akrab Jusuf Kalla--saat membuka Kongres XX Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Jakarta, Jumat, 11 Desember 2015.
JK menyampaikan pengalamannya saat membangun pembangkit listrik tenaga air di Poso. Ketika itu, seluruh infrastruktur dibangun oleh tenaga lokal. Contoh itu, kata Kalla, penting agar insinyur Indonesia mempunyai keberanian untuk berinovasi.
Berdasarkan pengalamannya, dibutuhkan suatu tekad dalam tiga hal: (1) untuk membuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, (2) tekad dari pengusaha yang membangun dengan segala risiko, dan (3) komitmen dari para profesional.
"Tanpa itu tidak bisa maju negeri ini. Ambil risikonya, kita bangun. Jadi butuh banyak keberanian," tambahnya. Karena itu, menurut dia, jangan pernah takut berinovasi, harus ada keberanian dan kemauan untuk maju.
Di samping itu, pengusaha tanpa pemerintah tidak akan bisa bergerak. Begitu juga pemerintah tanpa pengusaha, dan pengusaha juga membutuhkan profesional.
Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diterapkan pada Januari 2016, menurut JK, tidak perlu dikhawatirkan masuknya insinyur dari luar negeri ke Indonesia.
"Saya tidak pernah khawatir insinyur dari luar akan masuk ke Indonesia. Teorinya sangat sederhana. Tren itu bergerak dari negara yang gajinya rendah ke negara yang tinggi, bukan sebaliknya. Jadi yang justru saya khawatirkan insinyur kita ke negara lain," tambahnya.
Sementara itu, Indonesia kekurangan insinyur. Ini dilihat dari perbandingan satu insinyur untuk 10.000 orang. Yang perlu dikhawatirkan, menurut Kalla, adalah tidak efisien dalam produk. Karena itu, industri dalam negeri yang harus diefisienkan.
Untuk itu, pemerintahan ingin meningkatkan tingkat kompetisi dengan pengurangan ongkos finansial bunga tinggi, serta perbaikan birokrasi dan infrastruktur.