TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Maurin Sitorus, mengatakan, rasio penyaluran kredit kepemilikan rumah dengan Produk Domestik Bruto di Indonesia masih rendah, hanya 3,5 persen.
Rasio ini lebih kecil dibandingkan dengan Negara Singapura yang mencapai 53 persen, Cina 14 persen, dan India 9 persen. Karena itu, Maurin menyebutkan penyaluran KPR belum berjalan optimal. "Mungkin jawabannya belum optimal," kata Maurin, Kamis, 10 Desember 2015.
Dia menuturkan, back log (kekurangan) perumahan sekitar 13,5 juta unit. Jumlah ini juga ditambah dengan kebutuhan rumah baru setiap tahunnya yang mencapai 800 ribu hingga 900 ribu unit. Dari jumlah tersebut, pemerintah hanya dapat memenuhi hingga 500 ribu per tahun sehingga back log perumahan terus naik setiap tahun.
Tak hanya itu, pemerintah juga menghadapi kendala rumah tidak layak huni yang jumlahnya 3,4 juta unit. Untuk daerah perkotaan, luas wilayah kumuh mencapai 38 ribu hektar. Pemerintah, kata Maurin, menghadapi kendala, seperti rendahnya daya beli masyarakat, dan terdapat 60 persen pekerja informal yang tak mempunyai akses memperoleh KPR.
Maurin menargetkan pembangunan program sejuta rumah tahun depan, yakni 700 ribu untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan 300 ribu non-MBR. Dari jumlah kelompok MBR, pemerintah membangun 112 ribu unit, pengembang melalui subsidi pembiayaan perumahan (KPR-FLPP dan SSB) 470 ribu unit, dan pemerintah daerah 117 ribu unit.
Pemerintah mengalokasikan dana subsidi bantuan pembiayaan perumahan pada 2016, KPR-FLPP, sebesar Rp 9,22 triliun untuk memfasilitasi 87.390 unit rumah. Tak hanya itu, pemerintah memberikan bantuan uang muka sebesar Rp 1,22 triliun untuk memfasilitasi 306 ribu unit rumah, dan subsidi selisih bunga sebesar Rp 2,03 triliun untuk memfasilitasi 386.644 unit rumah.
ALI HIDAYAT