TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Adovaksi Jaringan Nasional Indonesia Baru (JNIB), Harli Muin, menilai, pembangunan proyek PLTA Upper Cisokan, Bandung, Jawa Barat, berkapasitas 4X260 MW ilegal. Pembangunan acces road (jalan hantar) PLTA Cisokan sepanjang 27,3 kilometer sejak Januari 2013 hanya didasarkan pada izin prinsip yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan.
Padahal di sebagian lokasi proyek jalan tersebut, PLN diwajibkan memiliki izin pinjam pakai lahan, berdasarkan Permenhut Nomor: P.16/Menhut-II/2014 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. PLN dinilai telah mengubah bentangan alam dan merusak kawasan hutan.
"PLN telah melakukan tindak pidana kejahatan kehutanan seperti tertuang dalam Pasal 50 dan 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan," kata Harli dalam keterangan tertulis Senin, 7 Desember 2015.
Dari data yang dikumpulkan JNIB, izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang dikeluarkan Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan sampai Maret 2014, PT PLN tidak terdaftar sebagai pemegang izin pinjam pakai kawasaan hutan untuk pembangunan PLTA Upper Cisokan.
Masalah lainnya adalah pembebasan lahan untuk kepentingan umum dengan mendasarkan pada Pasal 37 UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan ini, penyelesaian pembebasan lahan diberi waktu paling lama dua tahun.
Hingga kini, kata Harli Muin, Tim P2T (Pelayanan Perizinan Terpadu) belum menyelesaikan pembebasan lahan karena beberapa hal. Di antaranya soal kesepakatan harga dan luas areal tanah warga yang akan memperoleh penggantian, belum ada akta kesepakatan antara PLN dan warga terkena dampak (WTD) yang disahkan oleh BPN setempat.
Harli menilai kinerja yang dilakukan Tim P2T dalam hal pembebasan tanah tidak profesional. “Sosialisasi yang dilakukan tidak merata ke semua warga terkena dampak yang masuk dalam pemetaan lokasi pembangunan PLTA."
Harli menyarankan agar dilakukan pemindahan dan permukiman kembali warga yang desanya akan ditenggelamkan untuk pembangunan Upper Dam dan Lower Dam. Selain itu, sosialisasi Tim P2T mempunyai kewajiban untuk melakukan pendampingan dan pelatihan pra dan pascapermukiman warga.
Salah satu warga yang menjadi korban, Juddin, mengatakan, pengukuran tanah yang dilakukan P2T tidak pernah mengkofirmasi luas lahan masyarakat yang diukur. Misalnya, luas lahan miliknya 900 m2, tapi oleh tim P2T ditentukan sepihak menjadi 400 m2.
ARIEF HIDAYAT