TEMPO.CO, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi pada 2015 dianggap sulit untuk mencapai angka di atas 5 persen. Ini disebabkan kondisi global yang belum sepenuhnya pulih dari pelemahan ekonomi. "Pertumbuhan ekonomi pada 2015 sulit untuk mencapai 5 persen, perkiraan saya akan berada di kisaran 4,73-4,75 persen," kata ekonom dari Bank Permata, Joshua Pardede, Jumat, 6 November 2015.
Data BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 adalah 4,71 persen, triwulan II 4,67 persen, dan triwulan III 4,73 persen. Rata-rata pertumbuhan dari triwulan I-III adalah 4,70 persen. Joshua memperkirakan pertumbuhan pada triwulan IV akan berkisar 4,80-4,85 persen. Dengan demikian, pertumbuhan sepanjang 2015 diperkirakan 4,73-4,75 persen.
Menurut Joshua, beratnya mencapai pertumbuhan di atas 5 persen pada 2015 disebabkan masih lemahnya daya beli masyarakat. Padahal, variabel ini berkontribusi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Pemerintah harus bisa mendorong daya beli masyarakat untuk mendorong pertumbuhan," kata Joshua.
Upaya memperkuat daya beli masyarakat ini, kata Joshua, bisa dilakukan pemerintah dengan menurunkan harga bahan bakar minyak. Apalagi harga minyak dunia sedang mengalami tren penurunan. Pemerintah sudah menyatakan harga BBM bisa dikaji dalam rentang waktu tiga bulan. "Kalau harga BBM bisa diturunkan, ini cukup bisa memperkuat daya beli masyarakat," kata Joshua.
Joshua mengatakan pertumbuhan ekonomi juga terkait dengan sejauh mana pemerintah bisa mendorong belanja pemerintah. Belanja infrastruktur, kata dia, akan sangat efektif untuk mendorong pertumbuhan karena mempunyai efek pengganda dalam menggerakkan ekonomi. Sayangnya, penyerapan belanja infrastruktur masih belum maksimal.
Faktor lainnya untuk menggerakkan pertumbuhan adalah investasi dan posisi neraca perdagangan. Pemerintah, kata Joshua, memang sudah berupaya mendorong peningkatan investasi melalui serangkaian paket kebijakan 1-6. "Tapi hasil paket kebijakan ekonomi terkait investasi itu tidak instan, dia sifatnya long term," kata Joshua.
Sementara untuk posisi neraca perdagangan, memang ada sedikit perbaikan. Namun, kata Joshua, hal itu belum bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Penyebabnya adalah permintaan global yang saat ini menurun sebagai akibat melemahnya ekonomi Cina dan negara-negara lainnya. "Kondisi ini membuat kinerja ekspor melambat," katanya.
AMIRULLAH