TEMPO.CO , Jakarta - Analis David Sutyanto memperkirakan laju indeks harga saham gabungan kembali anjlok. Faktor utamanya tidak lepas dari gelagat Bank Sentral Amerika Serikat yang ingin menaikkan tingkat acuan suku bunga. "Sepertinya, The Fed (Federal Reserve, Bank Sentral Amerika) mulai bertingkah lagi," ujar David saat dihubungi pada Ahad, 8 November 2015.
Analis dari First Asia Capital itu mengatakan kemungkinan besar, The Fed akan menaikkan suku bunga awal tahun depan. Namun, yang perlu diantisipasi ialah sentimen negatif yang kerap mengiringinya. Di sisi lain, kondisi pasar yang masih lesu juga akan menyulitkan IHSG untuk melaju lebih tinggi. "Data ekonomi di Cina, terutama ekspor, sedang turun," ucap David.
Sementara di dalam negeri, data ekonomi pemerintah, seperti bertambahnya shortfall pajak berpeluang ikut menekan IHSG. David pun menaksir pergerakan indeks hingga akhir November akan berada di level 4.300-4.400. "Nampaknya, itu akan menjadi level wajarnya," kata David.
Sentimen The Fed, David berujar, secara tidak langsung akan ikut mempengaruhi nilai tukar rupiah juga. Jadi, terlepas dari rupiah yang masih akan terus tertekan, David berharap Bank Indonesia bisa mempertimbangkan untuk merevisi suku bunga acuan. Ia tak memungkiri bila ada perbedaan pandangan ihwal suku bunga acuan. Tapi, menurut dia, bila melihat tingkat inflasi yang cukup rendah saat ini, mestinya Bank Indonesia menurunkan suku bunga.
Senada dengan David, analis Reza Priyambada juga menilai secara tren terlihat ada pelemahan jangka pendek. Namun situasinya masih bertahan lantaran adanya aksi beli dari sebagian pelaku pasar. Analis dari NH Korindo Securities itu mengatakan IHSG akan kembali menguji level 4.546-4.560.
Namun, menurut Reza, masih ada utang gap di level 4.346-4.381 dan 4.470-4.496. "Penting untuk mengamati sentimen yang ada," kata Reza. Beberapa sentimen yang perlu diperhatikan ialah rencana The Fed yang ingin menaikkan suku bunga acuan, data ekonomi ekspor-impor di Cina, serta penjualan ritel di domestik.
Khusus sentimen The Fed rate, Reza menjelaskan, pada pekan lalu peluang kenaikan suku bunga Fed rate memberikan sentimen negatif dan langsung direspons dengan aksi jual pelaku pasar. Kendati belum ada kepastian, adanya persepsi negatif mengakibatkan aksi jual yang berdampak pada terpatahkannya tren kenaikan IHSG. "Pelemahan rupiah ikut menambah sentimen negatif indeks," tuturnya.
Dari rilis Bursa Efek Indonesia, dalam sepekan, periode 2-6 November, IHSG mengalami penguatan 2,5 persen dibandingkan penutupan pekan sebelumnya yang berada di level 4.455,180 poin. Di akhir pekan, IHSG ditutup turun 0,23 persen ke level 4.566,552 dibandingkan penutupan sehari sebelumnya.
Rata-rata nilai transaksi harian di lantai BEI terkoreksi 50,72 persen menjadi Rp 4,75 triliun dari Rp 9,65 triliun pada sepekan sebelumnya. Rata-rata volume transaksi harian pun ikut turun 21,91 persen dan rata-rata frekuensi harian berkurang 9,09 persen.
Investor asing mencatatkan jual bersih di pasar saham dalam lima hari terakhir dengan nilai Rp 168 miliar. Secara tahunan, aliran dana investor asing di pasar saham masih tercatat net sell Rp 18,01 triliun.
ADITYA BUDIMAN