TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Hanif Dhakiri mengatakan pemerintah mematok skala pertumbuhan ekonomi nasional agar tidak ada ketimpangan antara daerah yang memiliki pertumbuhan tinggi dan bahkan minus.
“Katakanlah pertumbuhan ekonomi 5 persen, gelondongan 5 persen itu diberikan ke buruh semua. Padahal, kontributor pertumbuhan ekonomi bukan hanya buruh tapi juga pengusaha,” kata Hanif kepada Tempo Selasa malam, 3 November 2015.
Hanif menjelaskan, sebenarnya pengusaha meminta formulasi pertumbuhan ekonomi memakai koefisiensi produk domestik bruto (PDB). Sebab, kata Hanif, pengusaha dianggap ikut menyumbang pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ekonomi. Dengan memakai koefisiensi tersebut, kontribusi tenaga kerja akan mengurangi persentasi pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah tetap memakai dasar pertumbuhan ekonomi secara nasional. “Gelondongan 5 persen itu sudah kami kasih semua ke buruh. Masak kami dianggap berpihak kepada pengusaha?” kata Hanif.
Tuntutan kenaikan upah minimum tersebut, menurut Hanif, dominan muncul dari tenaga kerja di industri manufaktur. Padahal dari sisi ketenagakerjaan, tenaga kerja di industri tersebut termasuk minoritas. Dari sekitar 114 juta orang yang bekerja di Indonesia, hanya sekitar 13 persen di industri manufaktur dan 87 persen di sektor perkebunan dan pertanian. Bahkan di sektor perkebunan dan pertanian, tenaga kerja belum menikmati upah minimum.
“Ketika industri manufaktur digenjot upah minimumnya maka akan terjadi gap makin jauh. Sehingga upah minimum tetap naik untuk industri manufaktur, tetapi di sektor pertanian dan perkebunan didorong terlebih dahulu sehingga tidak terlalu ada gap,” kata Hanif.
Hanif mengakui masalah utama dari ketenagakerjaan Indonesia adalah kelebihan tenaga kerja dibanding lapangan kerja. Solusinya bukan memaksakan upah dinaikkan secara ekstrem, melainkan industrinya didorong untuk bisa melakukan perluasan kerja sehingga yang belum bekerja bisa berkesempatan masuk dunia kerja.
DANANG FIRMANTO