TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara mengatakan, bila mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seharusnya tidak mungkin dilakukan sekarang.
Sebab, menurut aturan itu, perpanjangan kontrak hanya boleh dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. "Kontraknya berakhir 2021. Jadi baru 2019 kalau mau memproses perpanjangan kontrak," katanya saat dihubungi Tempo, Selasa, 27 Oktober 2015.
Baca Juga:
Namun, menurut Marwan, ada beberapa faktor yang membuat perpanjangan kontrak bisa dilakukan lebih awal. Pertama, di satu sisi kontraktor mendesak untuk mendapatkan kepastian perpanjangan masa operasi mengingat mereka akan melakukan investasi yang besar, seperti investasi smelter dan pembangunan tambang bawah tanah. "Jadi, bagi kontraktor, mereka butuh kepastian dari sekarang."
Di sisi lain, kata Marwan, pemerintah punya kepentingan dalam penerimaan negara. Seandainya tidak ada kepastian perpanjangan, produksi Freeport dipastikan akan turun dan penerimaan negara pun akan turun. "Masing-masing saling membutuhkan," ujarnya.
Namun, Marwan berujar, jika pemerintah ingin menghormati kedaulatan negara yang sudah punya aturan, yakni UU Minerba dan PP turunannya, pemerintah harus mengikuti aturan bukan hanya memenuhi keinginan kontraktor. "Jadi seolah-olah memberi contoh yang tidak baik," ucapnya.
Marwan menambahkan, kalaupun harus ada perpanjangan kontrak dalam waktu dekat dan harus melanggar peraturan negara yang penting, ada kesepakatan terhormat bagi bangsa Indonesia. Ia merinci ada lima hal yang harus dipenuhi.
Pertama, izin kontrak hanya diperpanjang sampai 2035 mulai dari sekarang. Kedua, Freeport harus mendivestasi saham agar sejak 2021 saham Indonesia itu menjadi 51 persen dan menjadi pemegang saham mayoritas.
Ketiga, mendesak Freeport agar menaikkan royalti dari 4 persen menjadi 6-7 persen. Keempat, Freeport harus membayar kompensasi kerusakan alam yang terjadi sesuai dengan perjanjian. Kelima, pemerintah harus membentuk konsorsium nasional untuk mengakomodasi 51 persen saham itu ke dalam satu konsorsium perusahaan. "Dengan begitu, sejak 2021 pemerintah Indonesia akan menjadi pengendali Freeport," ucap Marwan.
ABDUL AZIS