TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III akan sedikit membaik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Ekonom Bank Dunia, Ndiame Diop, memprediksi pertumbuhan bisa naik 10 basis poin. "Harapannya bisa lebih baik, tapi kita tunggu saja dari Badan Pusat Statistik," kata Diop di Energy Building, Jakarta, Kamis, 22 Oktober 2015.
Bank Dunia cukup optimistis melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Alasannya, sepanjang kuartal tiga belanja modal pemerintah diperkirakan meningkat sebesar 21,4 persen. Ditambah dengan peluncuran sejumlah paket kebijakan ekonomi, pertumbuhan ekonomi di kuartal III ini bisa menjadi momentum menuju pertumbuhan ekonomi ke level 5,3 persen di 2016, sesuai dengan prediksi Bank Dunia.
Pada kuartal I 2015, BPS melansir pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7 persen. Sedangkan, memasuki kuartal II turun menjadi 4,67 persen. Jika prediksi Bank Dunia tidak meleset, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tidak akan jauh dari 4,7 hingga 4,8 persen. Sedangkan, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan di 4,9 persen.
Kendati demikian, pemerintah tidak bisa mengandalkan paket kebijakan semata untuk mendongkrak pertumbuhan. Menurut Diop, belanja infrastruktur harus digenjot lebih dalam lagi. Ia berharap reformasi anggaran di bidang subsidi energi yang dialihkan untuk mendanai proyek infrstruktur bisa konsisten dilakukan. "Upaya reformasi di dunia usaha dapat memperkuat iklim investasi dan ikut mendorong pertumbuhan juga," katanya.
Bank Dunia juga menekankan harga beras bisa naik sebesar 10 persen akibat dampak El Nino. Walhasil, inflasi atau indeks harga konsumen berpotensi melebar di angka 0,3 hingga 0,6 persen. Bank Dunia mencatat harga beras produsen dalam negeri naik rata-rata 16,6 persen secara year on year dari Juni-September. Padahal, pada periode tersebut, harga beras internasional mengalami penurunan.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, juga mengatakan selama ini banyak pihak lebih fokus melihat sentimen global. Padahal persoalan inflasi bahan pokok merupakan masalah yang berada di depan mata. "Beras kan tidak tergantung ekonomi global," kata Enny.
Menurut Enny, sejumlah paket kebijakan ekonomi baru akan terasa dalam jangka menengah. Masyarakat kelas bawah tidak bisa berharap terlalu lama dari paket kebijakan. Enny menilai persoalan inflasi beras terjadi lantaran data di antara pemangku kepentingan tidak akurat.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara membenarkan jika ada data beras yang tidak akurat. Ia menyebut inflasi yang diakibatkan oleh makanan masih tinggi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah. "Ini karena kebijakan yang belum pas, karena datanya belum pas juga," ucap dia.
ADITYA BUDIMAN