TEMPO.CO , Jakarta: Energy Watch Indonesia menyatakan sikapnya menolak perpanjangan kontrak Freeport jika perpanjangan tersebut dikaitkan dengan rencana kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat akhir bulan ini. "Menurut undang-undang, kontrak hanya bisa diperpanjang 2 tahun sebelum masa habis kontrak. Kalau tidak, berarti melanggar undang-undang," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean kepada Tempo, Senin, 12 Oktober 2015.
Namun demikian, menurut Ferdinand, untuk kepastian investasi, pemerintah boleh saja membuat kesepakatan awal tentang kepastian perpanjangan kontrak dengan syarat ketat, yang sebelumnya harus dipenuhi oleh Freeport. Seperti kepastian pembangunan smelter, kenaikan royalti emas, dan hasil lainnya, hingga minimal 5 persen serta divestasi saham Freeport.
Tiga hal tersebut, kata Ferdinand, harus menjadi syarat utama persetujuan perpanjangan kontrak. Tujuannya agar bangsa Indonesia mendapat nilai lebih dari Freeport. "Jangan seperti yang terjadi sekarang. Kita hanya dapat sebagian kecil dari Freeport. Ini harus dihentikan jika memang Freeport masih ingin berinvestasi di Indonesia."
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia Sudirman Said memutuskan mempercepat proses perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Padahal, keputusan perpanjangan kontrak seharusnya paling cepat 2 tahun sebelum berakhir di 2021.
Keputusan Sudirman tersebut juga menuai sindiran Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Rizal mengatakan Sudirman keblinger.
INGE KLARA SAFITRI