TEMPO.CO , Jakarta: Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari mengatakan peranan perempuan pedesaan dalam pembangunan dan ketersediaan pangan belum mendapat pengakuan sepenuhnya. “Perempuan pedesaan turut serta dalam pembangunan. Perempuan-perempuan di desa nelayan turun ke laut untuk mengumpulkan kerang, membawanya ke pantai, mengupas dan menjualnya. Perempuan petani bekerja keras mulai dari menanam bibit padi, menyiram, menghalau hama, memanen, serta menjualnya,” katanya dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat pada Ahad, 11 Oktober 2015.
Pada 25 September 2015, para pemimpin negara sepakat menerima agenda 2030 ihwal pembangunan berkelanjutan sebagai agenda global yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2016 mendatang. Di dalam agenda tersebut, menurut Dian, ada satu tujuan yang khusus mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
“Dari latar pemikiran tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia mendedikasikan bulan Oktober kepada perempuan-perempuan di pedesaan untuk mengakui peran mereka dalam pembangunan dan kedaulatan pangan Indonesia,” kata Dian.
Sebagai wujud peringatan tersebut, akan diadakan Pekan Perempuan Pedesaan yang mengusung tema “Perempuan Pedesaan Merebut Kembali Hak-haknya atas Perlindungan Sosial dan Pembangunan Desa”.
Wakil Ketua Panitia Pekan Perempuan Pedesaan, Hanifah Muyassarah, mengatakan acara tersebut akan dilangsungkan di Kendal, Jawa Tengah pada tanggal 15-17 Oktober 2015 yang akan dihadiri 150 perempuan-perempuan petani di Jawa, NTT dan NTB.
Pemilihan kota Kendal karena sudah ada cabang Koalisi Perempuan Indonesia. Cabang Kendal mampu menggerakkan perekonomian warga dengan cara membentuk kelompok-kelompok usaha bersama. "Contohnya batik, makanan-makanan dari ikan laut dan itu dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia,” ujar Hanifah.
Hanifah meyakini perempuan Indonesia mampu menciptakan kedaulatan pangan. Berbicara soal produksi pasti mengarah pada peran perempuan. Indonesia sebagai negara tropis banyak menghasilkan pangan tanpa ketergantungan dari impor.
Sejatinya perempuan Indonesia, menurut Hanifah mampu melakukan upaya-upaya kedaulatan pangan. “Tapi ini yang masih belum ada pengakuan, baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri," jelasnya.
DANANG FIRMANTO