TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku industri tisu tak bisa mengurangi produksi kendati pasar dalam negeri menurun. Produsen terpaksa mengalihkan produksinya ke pasar ekspor dengan harga seadanya.
Bambang Dwi Setiawan dari Asosiasi Produsen Tisu Indonesia mengatakan, produsen tidak bisa langsung mengurangi waktu kerja sebab mesin harus beroperasi 24 jam. “Kalau berhenti, overhead-nya jalan terus. Malah lebih bahaya karena cost-nya naik. Makanya akan lebih bijak untuk tetap jalan, meski tidak ada untung. Pilihannya sekarang itu rugi atau tidak rugi,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa konsumsi tisu pada kuartal III/2015 di pasar lokal turun 20 persen dari sisi volume dibanding periode yang sama tahun lalu. Menurutnya, kapasitas produksi tahun ini akan sama dengan tahun lalu yang berkisar 100 ribu ton.
Adapun di pasar ekspor sendiri, Bambang menambahkan, kondisinya juga tidak stabil dengan adanya kelebihan pasokan yang disebabkan oleh banyaknya negara yang berekspansi di sektor ini pada 2014.
“Karena lihat tren dunia, pertumbuhan volume kebutuhan tisu itu sekitar 4 persen. Makanya sekarang kondisinya semua negara produsen tisu tambah kapasitas, bukan hanya kita dan Cina. Negara-negara lain juga, seperti di Asia dan negara berkembang lainnya,” jelasnya.
Negara tujuan ekspor tisu umumnya juga mengalami perlambatan ekonomi dan mata uangnya juga terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat. Menurut Bambang, ini mengakibatkan negara sasaran berhati-hati untuk melakukan importase.
Dia mengatakan, saat ini seluruh produsen tisu tengah berupaya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Semua mengupayakan untuk menjaga ini (PHK). Tapi kalau sudah terlalu berat, sepertinya memang perlu ada pengendalian biaya,” jelasnya.