TEMPO.CO, Jakarta - Analis LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo menuding Bank Indonesia tidak pro pasar. Ia berpendapat BI terkesan hati-hati dan tidak bisa mengambil sikap dengan tidak mengubah suku bunga acuan (BI rate) sejak rupiah berada di level 13.200 per dolar AS hingga saat ini yang mencapai 14.700 per dolar AS.
“Sejak dulu suku bunganya kok tetap 7,5 persen?” katanya saat dihubungi Tempo, Kamis, 24 September 2015.
Ketetapan Bank Indonesia untuk tidak menurunkan BI rate diperkirakan memperlambat laju ekonomi Indonesia yang tak juga membaik. Analis Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe berpendapat seharusnya BI menurunkan BI rate sejak awal tahun. “Biar ekonomi bergerak lebih kencang,” ia mengungkapkan.
Tak hanya Indonesia, gejolak ekonomi global juga dirasakan oleh semua negara di dunia. Kiswoyo mengakui bahwa semua mata uang melemah terhadap dolar AS. “Cina terpuruk indeksnya, namun negara lain juga terpuruk,” ujarnya.
Terlebih lagi dengan keputusan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang menurunkan target pertumbuhan dari 5,5 persen menjadi 5,3 persen, Lucky menilai hal ini membuat pasar menjadi semakin sepi. “Banyak pelaku pasar yang keluar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok dan rupiah tambah tertekan,” Lucky menjelaskan.
Analis pasar modal dari First Asia Capital David Nathanael Sutyanto mengatakan sektor-sektor yang terpuruk akibat anjloknya IHSG saat ini adalah tambang, aneka industri, industri dasar, serta manufaktur. Kiswoyo mengatakan level psikologis IHSG ada di angka 4.500.
Sementara itu, rupiah diperkirakan akan menembus 15 ribu per dolar AS dalam waktu dekat.
MAYA AYU PUSPITASARI