TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menolak membahas tentang audit Bank Indonesia dalam rapat kerja bersama Komisi Keuangan Dewa Perwakilan Rakyat. Agus menolak karena pembahasan tersebut mendadak. Agenda dalam rapat tersebut adalah pembahasan asumsi makro 2016.
Namun Ketua Komisi Keuangan DPR Fadel Muhamad mengusulkan ada pembahasan tentang audit Bank Indonesia setelah asumsi makro disahkan. Namun Agus langsung menyanggah usulan tersebut.
Selain bukan karena agenda rapat, Agus mengatakan audit tersebut tentu dapat dibicarakan pada lain waktu. Selama ini, kata dia, BI selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Tak hanya diaudit, setiap kuartal Bank Indonesia memberikan laporan kepada DPR dan presiden.
“Kalo seandainya dimasukkan agenda ini kami keberatan, karena kami merasa belum ada dasar Komisi Keuangan untuk memutuskan ini,” kata dia di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 23 September 2015.
Menurut Agus, dalam tantangan ekonomi global yang tengah dihadapi saat ini, pembahasan audit Bank Indonesia sangat sensitif. “Kita ada pada tantangan yang tak sederhana, dan kita justru masuk untuk urusan yang mungkin tak perlu dilakukan,” kata Agus.
Fadel pun menerima penolakan Agus. “Memang timing sekarang kurang tepat membahas ini di publik di saat-saat sekarang,” kata dia.
Sebulan lalu, Peneliti dari Garuda Institute Roso Daras mendesak DPR segera meminta BPK mengaudit pelaksanaan operasi moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dirasa perlu mengingat adanya konflik kepentingan yang menyebabkan bank sentral setengah hati mengamankan target nilai tukar yang diamanahkan UU APBN.
Roso mengatakan undang-undang tidak mengizinkan BPK memeriksa operasi moneter BI selama pemeriksaan tersebut tidak didahului oleh permintaan dari DPR.
“Karena itu, kami mendesak DPR meminta BPK mengaudit operasi moneter BI. Sudah jelas ada konflik kepentingan dalam pengelolaan moneternya. Kian tinggi depresiasi dan volatilitas rupiah, kian besar pula laba kurs yang diraup BI. Dan inilah yang terjadi sekarang: Mereka berpesta pora di tengah penderitaan rakyat,” ujarnya, Senin, 3 Agustus 2015.
Sebelumnya diberitakan BI meraih surplus Rp 41 triliun pada 2014, dengan penghasilan Rp 93 triliun, naik Rp 22 triliun dari tahun sebelumnya Rp 71 triliun. Kontributor utamanya selisih kurs transaksi valas, yang lompat Rp 18 triliun dari Rp 34 triliun jadi Rp 52 triliun. Surplus, penghasilan, dan laba kurs itu rekor tertinggi dalam sejarah BI.
TRI ARTINING PUTRI