TEMPO.CO, Jakarta - Asian Development Bank merevisi pertumbuhan ekonomi Asia menjadi 5,8 persen dari 6,3 persen. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terivisi menjadi 4,9 persen dari lebih 5 persen pada awalnya. "Hal ini terjadi karena perlambatan yang terjadi pada Cina dan Amerika Serikat," ujar Direktur ADB Indonesia Steven Tabor di Jakarta, Selasa, 22 September 2015.
Menurutnya, situasi perekonomian yang terjadi saat ini akan terus saling berkaitan. Jika ada negara dengan kapitalisme pasar yang besar di dunia bergejolak, maka hampir dipastikan seluruh dunia akan berpengaruh dengan apa yang terjadi di Cina dan Amerika Serikat kini.
Data ADB mengatakan ekonomi Cini memiliki prosentase terhadap pertumbuhan ekonomi dunia lebih dari 30 persen. Pun dengan Amerika Serikat dengan sumbangsih 12,7 persen. Sedangkan Asia secara keseluruhan menguasai prosentase lebih dari 60 persen.
"Jadi wajar kalau Cina dan Amerika Serikat mempengaruhi Indonesia dan dunia," katanya. Hal tersebut berkaitan dengan sistem perekonomian terbuka yang dianut Indonesia. Perbaikan ekonomi dan kestabilan akan segera terjadi jika Cina dan Amerika sudah menstabilkan perekonomiannya.
Steven mengatakan situasi ekonomi dunia dan Indonesia baru akan stabil jika Amerika Serikat sudah menormalkan suku bunga acuannya yang selama tujuh terakhir ini tak normal. Begitu juga kestabilan mata uang di seluruh dunia akibat devaluasi yang disengaja Cina beberapa waktu lalu.
Namun hal tersebut juga tak dapat dipastikan dan diramalkan, karena semua kebijakan didasari pertimbangan oleh negara-negara tersebut. "Yang bisa dilakukan Indonesia adalah menjaga kestabilan nilai tukar dan kepercayaan investor," katanya.
Seperti yang diketahui, Amerika Serikat batal menaikkan suku bunganya karena menunggu stabilnya daya saing Dollar akibat devaluasi Cina. Cina sendiri terpaksa mendevaluasi Yuannya untuk mendongrak pertumbuhan konsumsinya karena pertumbuhan ekonomi yang tak berjalan lancar dari 7,2 persen ke 6,8 persen hingga saat ini.
ANDI RUSLI