TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah situasi perlambatan ekonomi, pemberlakuan rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) 4:1 mulai tahun depan dikhawatirkan akan menjadi disinsentif bagi pergerakan roda perekonomian yang masih membutuhkan likuiditas.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pemerintah menerapkan DER memang penting sebagai upaya antitax avoidance karena faktanya banyak wajib pajak (WP) yang melakukan langkah terebut untuk mendapat tax benefit berupa beban bunga.
“Tapi dengan rasio tunggal menjad kaku karena relaksasi malah dicegah dengan kebijakan ini. WP jadi hati-hati dan membatasi. Padahal, bisa jadi dalam kondisi krisis memang butuh pinjaman yang lebih besar agar bisa survive. Kalau kondisi normal mungkin tidak terlalu masalah,” katanya, Senin (21 September 2015).
Menurutnya, sebaiknya perlu ada batas pembeda secara sektoral meski tidak harus sangat detil. Pembeda juga bisa dijalankan antara related party dan nonrelated party. Apalagi, utang dagang masuk dalam komponen total utang yang bisa dikoreksi.
Pemberian klasifikasi beberapa sektor besar seperti manufaktur, jasa, perdagangan, dan keuangan bisa dilakukan. Terkait rasio, pihaknya mengaku harus dimulai dengan riset. Menurutnya, pinjaman bank sebagai leverage bahkan wajar di rasio 10:1. “Karena non related itu pinjaman sifatnya trust,” ujarnya.
Artikel Menarik:
Jurus Mabuk Rizal Ramli: Membantu atawa Merepotkan Jokowi
Mahasiswa-Mahasiswi Ngeganja di Puncak Digrebek, Ada Kondom
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan kendati sudah dipatok DER 4:1, setiap perusahaan masih bisa memiliki utang yang melebihi rasio tersebut. Namun demikian, besaran utang yang lebih dari rasio 4 tersebut tidak boleh dibiayakan sehingga mengurangi penghitungan pajak.
“Boleh lebih dari empat tapi tidak boleh dibiayakan untuk kepentingan pajak,” kata Bambang.
Kebijakan yang berlaku mulai tahun pajak 2016 tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak (WP) badan yang bergerak di sektor infrastruktur. Langkah ini diambil untuk menggerakan sektor tersebut sejalan dengan upaya pemerintah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur.“Infrastruktur dikecualikan karena kita dorong infrastruktur lebih aktif,” ujarnya.
Selanjutnya: kebijakan