TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) R.J. Lino menyangkal tuduhan tentang dugaan dirinya melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan. "Saya merasa saya adalah warga negara yang baik dan saya menyatakan bahwa tidak ada undang-undang yang saya langgar," kata R.J. Lino dalam rapat panja yang digelar Komisi VI, yang membidangi industri dan badan usaha milik negara, di gedung Parlemen, Rabu, 16 September 2015.
Dalam rapat panja yang dipimpin Azam Asman Natawijana, R.J. Lino berkukuh menyatakan pembelaan. Ia menyebutkan telah meminta persetujuan dari Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara (Jamdarun) tentang perlu atau tidaknya meminta izin konsesi kepada pemerintah. Padahal Jamdatun tidak memiliki wewenang sebagai penentu keputusan untuk memberikan nasihat pada keputusan Direktur Utama Pelindo II karena pemegang aturan tetap berada di tangan pemerintah.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 jelas-jelas diatur pemisahan yang tegas antara fungsi regulator dan fungsi operator. Regulator adalah pemerintah sebagai pemilik badan usaha dan operator adalah PT Pelindo II yang menjalankan kegiatan perusahaan.
Panja menilai, sebagai operator, Pelindo II seharusnya wajib meminta permohonan konsesi. Yakni meminta izin hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada badan usaha pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayaran jasa kepelabuhan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu.
Namun, yang terjadi selama ini, PT Pelindo II menjalankan dua fungsi tersebut, yakni sebagai operator dan regulator yang memiliki kebijakan sendiri dengan tidak meminta izin konsesi kepada pemerintah untuk perpanjangan kerja sama usaha. Dalam hal ini, pengelolaan atau pengoperasian oleh PT Jakarta International Container Terminal (JICT) dari Terminal Peti Kemas Koja dengan perusahaan asing dari Hong Kong, PT Hutchinson Port Holding.
DESTRIANITA K.