TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia, pada Selasa, 15 September 2015, memperingatkan soal risiko penurunan besar dalam arus modal ke negara-negara berkembang. Hal ini bisa terjadi akibat siklus pengetatan kebijakan moneter AS mendatang.
Jika siklus pengetatan disertai lonjakan dalam imbal hasil (yield) jangka panjang AS, seperti yang terjadi selama taper tantrum pada 2013, penurunan aliran modal ke negara berkembang bisa sangat besar. Ini menurut sebuah makalah penelitian yang dirilis Bank Dunia menjelang pertemuan Federal Reserve (bank sentral AS) minggu ini untuk membahas apakah akan menaikkan suku bunga.
Menurut Xinhua, istilah "taper tantrum" telah banyak digunakan untuk menggambarkan bagaimana pasar bereaksi terhadap komentar Ketua Federal Reserve Ben Bernanke (ketika itu) bahwa Fed mungkin memperlambat atau mengurangi tingkat pembelian obligasi, yang merupakan bagian dari pelonggaran kuantitatif (program stimulus ekonomi).
Penelitiannya menunjukkan lompatan 100 basis point dalam imbal hasil jangka panjang AS, seperti yang terjadi selama taper tantrum, bisa mengurangi agregat aliran modal ke pasar negara-negara berkembang hingga 2,2 persentase poin dari gabungan produk domestik bruto (PDB) mereka.
Meskipun makalah itu memperkirakan siklus pengetatan tersebut mungkin tipis, hal itu tetap mengandung risiko. "Risiko diperparah oleh lonjakan terbaru dalam volatilitas di pasar keuangan global dan memburuknya prospek pertumbuhan di negara-negara berkembang," kata Ayhan Kose, Direktur Development Prospects Group Bank Dunia.
"Sebuah perubahan mendadak dalam selera risiko terhadap aset-aset pasar negara berkembang bisa menular dan mempengaruhi aliran modal ke berbagai negara," katanya.
ANTARA