TEMPO.CO, Jakarta - Setelah mendapat sentilan keras dari Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli soal adanya mafia di pulsa listrik, Direktur Utama PT PLN Sofyan Basyir menyatakan akan menghapus komponen biaya administrasi token listrik.
Sebelumnya Rizal Ramli mengatakan pelanggan membeli pulsa Rp 100.000, ternyata listrik yang mereka hanya Rp 73.000. “Kejam sekali, 27 persen kesedot oleh provider yang setengah mafia,” ujar Rizal.
Sofyan mengatakan bea token dianggap memberatkan masyarakat yang membeli token minimum. "Kebanyakan yang berat itu pengguna listrik 450-900 watt," kata Sofyan saat rapat dengar pendapat dengan DPR, Selasa, 8 September 2015.
Biaya yang dimaksud Sofyan adalah payment point online banking (PPOB). Pembayaran ini dikelola provider yang ditunjuk bank untuk mengumpulkan duit dari pembeli ke rekening PLN. Bea dikenakan sebesar Rp 1.600 yang masuk dalam komponen biaya token, selain pajak penerangan jalan dan materai.
Meski tergolong sedikit, Sofyan mengatakan bea dapat memberatkan masyarakat ekonomi lemah jika mereka membayar listrik secara mencicil. "Misalnya sebulan mereka bayar Rp 100 ribu, karena tidak punya uang, mereka beli token Rp 20 ribu selama lima kali," kata dia.
Nah, pembebasan bea dalam waktu dekat bakal dibahas PLN bersama provider PPOB dan perbankan terkait. "Kami akan cari formulasi yang terbaik," Sofyan berujar.
Pernyataan Rizal Ramli tersebut sudah disanggah oleh ekonom Faisal Basri. Faisal dalam blog pribadinya menyebutkan pelanggan yang membeli pulsa listrik Rp 100.000 sebenarnya mendapatkan token sebesar Rp 94.726 atau mengalami penyusutan sekitar 5,3 persen. “bukan 27 persen seperti yang ditengarai oleh Pak Menko disedot mafia,” tulis Faisal.
Menurut Faisal penyusutan tersebut terjadi karena adanya biaya administrasi yang harus dibayar pelanggan serta Pajak Penerangan Jalan (PPJ).
ROBBY IRFANY